Mémoire : 44. Painful

19.1K 1.9K 366
                                    

Ketika memasuki ruang rawat itu, air matanya mendesak untuk keluar kembali. Namun dengan sekuat mungkin dia menahannya. Berusaha untuk menampakkan senyumannya.

Melangkah semakin dekat, Jennie bisa melihat kesakitan itu amat jelas di raut wajah adiknya. Setiap tarikan napas, Lisa tampak meringis. Pertanda bahwa saat dia melakukan itu, rasa sakit di dadanya muncul.

Bahkan Lisa sudah bermandikan oleh keringatnya sendiri. Kesakitan yang dia dapat tak kunjung reda. Jika saja boleh, Lisa memilih untuk berhenti bernapas dibandingkan harus merasakan sakit seperti itu hanya untuk meraih napasnya.

"Hei," suara Jennie sungguh serak sekarang. Dia baru saja menangis hingga matanya membengkak di depan ruang rawat Lisa tadi.

Gadis berponi yang kini sudah tak berdaya itu berusaha menampilkan senyumannya dari balik masker oksigen. Ingin meyakinkan kakaknya jika dia baik-baik saja. Tapi sepertinya akan gagal.

Siapa yang bisa tenang jika melihat keadaan Lisa sekarang? Paru-paru gadis itu bocor karena terkena tulang rusuk yang patah. Nyawa gadis itu sekarang sedang dipertaruhkan. Tidak akan mungkin ada yang bisa percaya jika dia baik-baik saja.

"Kau selalu membuat Unnie terkejut, Lisa-ya." Jennie memilih duduk di kursi samping ranjang Lisa. Meraih tangan adiknya yang kini dipasang oleh selang infus.

Tangannya dingin dan berkeringat banyak sekali. Jari-jarinya juga tampak berwarna biru keungunan. Bagaimana bisa mereka terlambat menyadari apa yang terjadi pada Lisa setelah tabrakan mobil itu?

"Unnie," suara yang menyerupai bisikan itu membuat Jennie mengalihkan pandangannya dari jari-jari panjang milik Lisa.

"Entah aku sudah pernah mengatakannya padamu atau belum...." Lisa tampak mengatur napasnya yang kian sesak.

".... Aku akan menjadi kuat seperti layaknya Dandelion. Diterpa angin sehebat apa pun, aku akan tetap kuat."

Jennie mengangguk cepat. Mencium lembut jari-jari dingin milik Lisa. Jika dulu dia takut akan mautnya sendiri. Kini dia takut akan maut adiknya. Dia sungguh tak mau Lisa meninggalkannya terlalu cepat.

.........

Ini adalah pagi kesepuluh Lisa terbangun di dalam ruang rawat. Selama disana, dia selalu mendapatkan perhatian lebih dari keluarganya. Lisa sungguh senang semuanya bisa kembali seperti semula.

Kedua mata Lisa beralih pada sang kakak yang sedang membaca sebuah buku fiksi. Keningnya sesekali berkerut, menandakan betapa fokusnya Jisoo membaca buku itu.

Padahal ini waktu untuk sarapan. Tapi tampaknya sang kakak memilih untuk menemani Lisa dibandingkan melahap makanan di Cafeterian rumah sakit bersama yang lain.

"Jennie Unnie."

Jisoo mendongak. Lalu menoleh ke arah pintu ruang rawat yang masih tertutup. Lalu matanya mulai menjelajah ke segala sisi ruangan. Namun tak menemukan sosok yang baru saja Lisa panggil.

"Lisa-ya, tidak ada Jennie disini. Dia sedang sarapan." Ucapan Jisoo itu membuat Lisa gelagapan.

"A-Ah mianhae, Unnie." Lisa menggigit bibir bawahnya. Dia sungguh gugup. Terlebih ketika kedua mata Jisoo memicing ke arahnya.

"Kau... Keliru? Kau tak ingat namaku?" tanya Jisoo terkejut.

"A-Aniya. Tentu saja aku ingat. Kau Ros--- Aniya. Kau Jisoo Unnie."

Jisoo akui. Ini adalah rasa sakit yang paling hebat di dalam hidupnya. Lisa sempat melupakan namanya. Kenyataan itu sulit sekali untuk Jisoo telan. Bisa saja, kedepannya Lisa benar-benar tak ingat tentang Jisoo.

Mémoire ✔Where stories live. Discover now