Mémoire : 25. Decision

12.2K 1.6K 244
                                    

"Jisoo-ya, geumanhae. Kau sudah menghabiskan tiga botol soju."

Park Sooyeong menahan tangan Jisoo yang hendak kembali membuka botol soju. Dia tidak akan membiarkan sahabatnya itu merusak diri sendiri karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman beralkohol.

Pagi tadi, Sooyeong yang hendak berangkat untuk bekerja dikejutkan dengan keberadaan Jisoo yang ada di depan unit apartemennya dengan mata sembab dan penampilan amat berantakan.

Lalu tiba-tiba, anak sulung Kim Hyunbin itu menarik lengannya hingga mereka sampai di sebuah kedai soju pinggiran. Tak tanggung-tanggung, Jisoo memesan lima botol soju kepada penjualnya.

Sooyeong amat mengenal Jisoo. Gadis berambut cokelat itu tak pernah meminum alkohol yang berlebihan ketika sedang dilanda stress berat. Terlebih ini masih pagi, bukanlah seharusnya Jisoo berada di kantor?

"Alkohol tidak akan membuat masalahmu mereda, Jisoo-ya." Ujar Sooyeong agar Jisoo bisa mengerti. Betapa bahayanya ketika dia mengkonsumsi alkohol terlalu berlebihan.

"Aku merasa... Sudah tidak ada gunanya hidup." Mendengar lirihan Jisoo itu, tentu saja Sooyeong terkejut. Bahkan dia sampai membulatkan matanya karena tak menduga kalimat itu akan keluar dari mulut sahabatnya.

"Jisoo-ya, pasti kau sudah mulai mabuk."

Sooyeong memilih hendak menjauhkan dua botol soju yang masih utuh dari hadapan Jisoo. Namun gadis Kim itu menahan lengannya. Menatap mata Sooyeong dengan sorot menyakitkan.

"Adikku akan mati, Sooyeong-ah. Bukankah aku juga harus mati? Aku akan menemaninya di atas sana. Dia tidak boleh kesepian." Jisoo benar-benar dilanda rasa putus asa yang luar biasa berat. Sooyeong bisa melihatnya dengan jelas.

"Itu artinya, kau tidak memikirkan perasaan kedua adikmu yang lain?" tanya Sooyeong tajam. Dia sungguh tak suka akan pemikiran sahabatnya yang pendek itu.

Jisoo termenung sejenak. Dia lupa, jika Rosé dan Lisa masih membutuhkannya sebagai kakak. Tapi di satu sisi, Jisoo tak mau merasa kehilangan. Atau dia akan tercekik oleh rasa sakit itu nantinya.

Mereka tumbuh bersama dengan baik. Saling berbagi kasih sayang. Mereka sangat membutuhkan satu sama lain. Dan Jisoo tak bisa membayangkan, jika kelak Jennie akan pergi terlebih dahulu. Bukankah, adiknya itu akan kesepian.

"Lisa dan Rosé... Bisa hidup bersama di dunia ini. Aku dan Jennie akan---"

Plak~

Tak tahan, Sooyeong melayangkan tamparan di pipi mulus sahabatnya. Dia ingin Jisoo sadar, jika ucapannya itu sudah keterlaluan. Entah bagaimana perasaan Rosé dan Lisa ketika mendengarnya. Mereka pasti akan sangat tersakiti.

"Geure. Lakukan apa saja yang kau mau, Jisoo-ya. Dengan begitu, berarti kau senang melihat adik-adikmu bersedih. Terlebih Lisa. Bukankah kau bilang dia memiliki gangguan jiwa?" mendengar kalimat Sooyeong yang terdengar kasar untuk Lisa, Jisoo segera menegakkan tubuhnya. Merasa marah karena Sooyeong sudah menganggap Lisa gila.

"Adikku tidak gila! Aku tidak pernah bicara seperti itu padamu!" Pekik Jisoo marah.

Sooyeong yang mendapatkan bentakan dari Jisoo justru terkekeh. Sebenarnya dia tak berniat mengatakan Lisa memiliki gangguan jiwa. Tapi hanya itu satu-satunya cara agar Jisoo mengenyahkan pikiran buruknya itu.

"Tapi jika kau tetap pada keinginanmu yang diluar batas itu, bukankah adikmu akan benar-benar gila?"

Skakmath! Jisoo lagi-lagi terdiam dibuatnya. Dia tidak sadar telah berniat untuk menghancurkan mental Lisa yang nyatanya sangat rapuh. Bukannya menjadi penyangga untuk adiknya, Jisoo justru ingin menjadi penghancur kehidupan adiknya.

Mémoire ✔Where stories live. Discover now