Mémoire : 21. Flower

12.6K 1.7K 278
                                    

Lisa keluar dari toilet kamarnya dengan wajah yang lebih segar. Hari ini cukup melelahkan untuk Lisa. Dia harus pergi ke kampus dan melatih beberapa trainee hingga malam menjelang. Mandi adalah jalan satu-satunya agar Lisa bisa tidur dengan nyenyak nanti.

"Kau mandi malam lagi, Lisa?" Gadis berponi itu hampir saja terjengkang karena kaget mendengar suara Jennie yang tiba-tiba muncul.

Belum sempat Lisa melayangkan protes pada kakaknya karena telah membuat jantung Lisa hampir copot, Jennie terlebih dahulu menarik lengannya dan mendudukkannya di depan meja rias.

Gadis berpipi mandu itu dengan telaten mengeringkan rambut Lisa dengan handuk. Membuat Lisa memilih diam dan memperhatikan wajah Jennie melalui pantulan kaca. Kakaknya itu, selalu bisa membuat kekesalan Lisa melayang entah kemana.

"Kenapa pulang larut malam? Besok kita akan berangkat pagi-pagi sekali." Ucap Jennie disela-sela kegiatannya kini.

"Ada yang harus ku temui, Unnie." Jawab Lisa seadanya. Meringis dalam hati, entah sampai kapan dia bisa menyembunyikan pekerjaannya itu. Lisa benar-bemar belum menemukan waktu yang tepat untuk berkata jujur.

"Kau... Sudah tidak marah dengan Unnie lagi kan?"

Lisa mengerjabkan matanya dengan bingung. Dia merasa, Jennie baru saja mengingau. Karena sejak kapan Lisa marah pada kakaknya? Dan apa yang membuat Lisa marah? Jika dipikir-pikir, Lisa sangat sulit untuk marah pada Jennie karena kakaknya itu amat lembut pada Lisa.

"Maafkan Unnie, hm? Unnie tidak akan bicara seperti itu lagi." Mendengar kalimat Jennie itu, Lisa menggigit bibirnya gusar. Berusaha mengingat apa permasalahan mereka kemarin.

Tapi sedikit pun gadis berponi itu tidak ingat. Dan jika dia mengaku lupa pada Jennie, itu bukanlah hal baik karena kakak keduanya itu pasti akan berpikir macam-macam. Alhasil, Lisa memilih mengangguk saja.

"Nde, Unnie. Aku... Sudah melupakannya. Tidak masalah," ujar Lisa yang berusaha menyembunyikan keraguan di dalam suaranya.

Jennie tentu merasa senang, karena dia pikir Lisa akan marah dalam waktu yang lama. Mengingat adiknya itu sangat jarang mengeluarkan emosinya, Jennie takut Lisa akan sulit memaafkannya. Terlebih kalimat yang Jennie keluarkan kemarin cukup sensitif.

"Tapi, Unnie. Bagaimana dengan cuci darahmu? Bukanllkah kau tidak bisa meninggalkannya?" tanya Lisa ketika teringat akan pengobatan kakaknya yang harus dilakukan satu minggu dua kali itu. Mereka tentu tak mungkin tinggal di Swiss hanya selama beberapa hari.

"Appa sudah menghubungi salah satu rumah sakit disana. Aku akan tetap melakukan itu." Lisa mengangguk lega mendengar jawaban Jennie. Setidaknya sang kakak tidak mengabaikan kesehatannya demi kebersamaan mereka berempat.

"Unnie akan mengambil pakaianmu sebentar." Lisa membuka mulutnya hendak menghentikan Jennie, tapi kakaknya itu terlebih dahulu pergi ke walk in closetnya.

Dalam pandangan Lisa, Jennie masihlah menjadi kakak yang normal baginya. Memberikan kasih sayang, mengurus Lisa dengan baik, dan tetap mempertahankan figur seorang kakak yang kuat untuk adik-adiknya.

Terkadang, bahkan Lisa lupa jika kakaknya itu kini memiliki sebuah penyakit yang mematikan. Karena setiap saat, Jennie tetap berlaku seperti tak ada apa pun yang terjadi. Hanya saja ketika Lisa melihat Jennie yang meminum obat rutinnya dan setelah melakukan proses cuci darah, barulah Lisa sadar. Jika kakaknya itu sudah berbeda.

"Ingin Unnie pakaikan?" Lisa terbelalak mendengar suara Jennie yang kembali mengejutkannya.

Dengan wajah memerah menahan malu, Lisa merebut setelan piyama berwarna kuning yang ada di tangan Jennie.
"Aku bisa memakainya sendiri, Unnie. Berbaliklah."

Mémoire ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang