Mémoire : 3. Dream

16.4K 2.1K 710
                                    

Tiga hari ini, paginya selalu terasa baik. Setiap membuka mata, dia bisa merasakan suasana pagi yang damai. Bukan suasana yang siap untuk menekannya. Dan Lisa berharap, dia akan selalu merasakan pagi seperti ini.

Duduk di balkon kamar, sembari menikmati teh hangat. Dengan pemandangan pegunungan hijau yang sangat memanjakan mata. Lisa sungguh tak ingin kembali ke Korea. Jika saja bisa, dia ingin menetap disana. Menjalani hari-harinya dengan damai.

"Kau tidak ikut bersama Jennie dan Rosé yang pergi ke danau?" Jisoo muncul dan duduk di sampingnya. Menyesap teh yang sama. Memejamkan mata sejenak, karena rasanya sangat nyaman.

"Apa kau menyesal telah di lahirkan sebagai Kim Jisoo, Unnie?" pertanyaan Lisa itu sungguh mengejutkan Jisoo. Dia bahkan hampir tersedak jika tidak bisa menguasai diri dengan baik.

"Terkadang, aku berpikir bahwa aku menyesal menjadi anak Appa yang selalu ditekan. Tapi... Aku tak pernah merasa menyesal karena telah menjadi kakak kalian." Jawab Jisoo yang membuat Lisa cukup tersentuh.

Gadis berponi itu memilih meletakkan cangkir tehnya ke atas meja. Lalu berjalan menuju pagar pembatas balkon. Melihat aktivitas para warga yang mulai aktif pagi ini.

"Aku pernah berpikir, hidupku terasa berat dan aku tak sanggup untuk menjalaninya." Mendengar itu, bibir Jisoo mendadak kelu. Lisa memang tak memiliki mental yang sangat kuat seperti ketiga kakaknya. Gadis berponi itu akan mudah putus asa. Maka dari itu, Jisoo ingin berusaha menyadarkan Ayah mereka untuk tidak memaksakan kehendak pada Lisa.

"Aku merasa seperti itu, karena aku selalu melihat ke atas. Jika saja aku terus melihat ke bawah, aku akan sangat bersyukur dengan hidupku."

Senyum kecil muncul di bibir Jisoo. Bangkit berdiri dan memeluk Lisa dengan hangat. Tak percaya, bahwa kini adik kecilnya sudah tumbuh dewasa. Memiliki pemikiran yang bahkan Jisoo tak menduga sebelumnya.

"Aku... Tidak akan menolak permintaan Appa. Aku akan menurutinya." Lisa memejamkan mara erat, ketika merasa kini tubuh kakaknya menegang.

"Aniya. Unnie tak ingin kau melepaskan impianmu. Unnie akan berusaha, Lisa-ya. Suatu saat, Appa pasti memgerti." Ujar Jisoo yang tentu saja tak setuju atas keputusan Lisa.

Dia tahu, bagaimana Lisa sangat mencintai seni tari. Bagaimana gadis berponi itu sudah menyusun impiannya dengan amat rapi. Dan jika gagal, entah seberapa hancurnya Lisa nanti.

"Kalian semua mengatakan hal yang sama. Aku benar-benar merasa menjadi adik yang tidak berguna. Aku tidak bisa membuat kalian bahagia sekali saja." Ucap Lisa dengan suara serak. Rasanya dia ingin menangis saat ini juga ketika mengingat bagaimana pengorbanan ketiga kakaknya untuk Lisa.

"Kau ingin membuat kami bahagia kan? Cukup raih impianmu, dan kami akan sangat bahagia." Setelah mengatakan itu, Jisoo menempelkan dahinya pada kepala belakang Lisa.

.........

Mendapatkan ketenangan disana, rasanya sangat mudah. Jennie dan Rosé hanya perlu berjalan kaki sebentar, dan mereka kini tiba di sebuah danau yang amat indah. Dengan bunga tertanam di beberapa bagian.

"Aku sudah memutuskan untuk mengambil alih salah satu anak perusahaan Appa." Ucap Rosé tiba-tiba, membuat kedua mata Jennie melotot kaget.

"Kau masih berkuliah, Chaeng-ah. Cukup fokus dan lupakan tentang memimpin perusahaan. Unnie tidak ingin kau kelelahan." Jennie berujar dengan nada yang sedikit meninggi.

Biar bagaimana pun, dia sudah merasakan bagaimana berkuliah sambil bekerja sebagai pemimpin perusahaan. Hal yang sangat berat, dan Jennie tak ingin kedua adiknya merasakan hal itu. Sudah cukup dia dan Jisoo yang kehilangan masa muda mereka karena keegoisan Ayah mereka.

Mémoire ✔Where stories live. Discover now