Help back

220 20 3
                                    

Sehari setelah keberhasilan rencana Vania, kali ini Vania kembali melakukan kegiatannya dengan normal. Walau begitu ia tetap meminta orang suruhannya untuk mengawasi gerak-gerik salah satu musuh pejuang cintanya, yakni Helena. Ya, Vania paham betul akan seperti apa perempuan itu bertindak. Sebab yang saat ini masuk ke dalam jeruji adalah ayahnya, bukan dirinya. Tentu Vania juga tahu Helena tidak akan terlalu memusingkan hal itu karena menurut semua informasi yang ia dapatkan tentang perempuan itu, dirinya sama sekali tidak memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya.

Memikirkan hal itu, Vania banyak berspekulasi bahwa walau dengan fakta seperti itu, Helena akan tetap berusaha membalasnya karena banyak hal yang telah Vania rebut dalam sekejap. Hal itu termasuk Febrian yang selama ini dirinya dekati. Helena tidak akan membiarkan semua miliknya direbut begitu saja. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi yang pasti Vania selalu menunggu saat itu datang.

Ceklek!

Pintu ruangannya terbuka membuat lamunan Vania terbuyar.

"Wow, ironis sekali endingnya. Selanjutnya apa?" tanya seorang laki-laki berjalan begitu santai dan duduk begitu saja di atas sofa ruangan Vania.

Di sisi lain Vania yang melihat kedatangan orang itu memutar bola matanya malas. Sebenarnya yang harus ia lakukan adalah mengucapkan terima kasih kepada laki-laki itu karena tanpa berkas yang diberikan oleh pria itu, dirinya tak mungkin bisa melaksanakan segala rencananya.

Vania pun berdiri dari kursinya dan duduk di hadapan pria itu dengan santai.

"Ngapain lo ke sini?" tanyanya singkat tanpa mau basa basi.

Mendengar perkataan jutek dari Vania, laki-laki itu langsung mendengkus.

"Lo tuh jadi adek emang durhaka banget, ya? Orang dateng baik-baik tapi dijawab jutek. Bilang kek terima kasih Jacky! Susah amat!"

Raut wajah Vania berubah menjadi semakin jengkel dengan perkataan dari abangnya itu. Walau sebenarnya apa yang dikatakannya itu benar.

"Mech! Kalau lo cuman mau kata terima kasih dari gue, dari kemaren juga gue udah ngomong ke elo! Lo pikun atau gimana?" ujar Vania kesal membuat sang abang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Galak banget sih lo? Enggak bisa banget nyantai ngomong sama gue?"

Jack tak habis pikir kenapa adiknya itu sama sekali tidak berubah dari dulu. Ia kira hubungan keduanya akan lebih baik kalau mereka mulai beranjak dewasa. Namun apa yang diharapkannya itu tidak terjadi sama sekali. Memang betul kata orang umur tidak menentukan apakah akan ada perubahan atau tidak.

Sedangkan Vania yang mendengar hal itu hanya melirik abangnya seolah berkata bahwa Jack pasti sudah tahu apa jawaban atau pertanyaan konyolnya itu.

"Enggak usah basa-basi. To the point! Mau ada urusan apaan? Bentar lagi jemputan gue dateng, nanti doi ngambek lagi. Buru!" ucap Vania dengan nada juteknya membuat Jack tak paham.

"Hah? Jemputan? Sejak kapan lo ada jemputan?" tanya Jack heran.

"Really? Lo udah tau jugakan gue sekarang pacaran sama si dokter ganteng itu?" tanya Vania menatap sang abang sama bingungnya. Sebab ia sangat yakin tanpa dirinya beri tahu pasti Jack selalu mengecek segala pergerakannya.

Setiap saat dan setiap waktu.

Mendengar perkataan Vania tersebut membuat Jack menatap adiknya tak percaya seolah ucapan adiknya itu hanya sebuah guyonan belaka.

"Lah? Sejak kapan? Gue tahu lo deket tapi gue enggak pernah tau kalau itu cowok demen sama elo! Enggak usah bercanda deh, lagian mana mau dia ama lo?" ujar Jack dengan nada mengejek yang membuat Vania meliriknya sinis.

CRAZY PATIENT ✔ (Fin)Where stories live. Discover now