Home Sweet Home

118 10 4
                                    

"Jadi, gimana kabar kamu, tampan? Aku sangat rindu beberapa hari ini tidak bisa melihat senyuman manismu itu, kau tahu?" ucap Vania sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum centil.

Febrian yang sudah kebal dengan segala tingkah Vania hanya bisa geleng-geleng saja dan duduk ke arah sofa. Bibir Vania mengerucut tidak suka mengetahui bahwa Febrian tidak menjawab ucapannya sama sekali.

Apakah laki-laki ini tidak merindukannya?

Mengapa selalu tidak menjawab seolah tidak peduli?

"Itu mulut bisa kali, ya jawab 'iya aku juga kangen cantikk',"gumam Vania sengaja dengan nada yang dikeraskan.

Tentu Febrian tidak tuli untuk mendengar nada sarkas Vania. Namun dirinya sengaja ingin melihat ekspresi kesal perempuan cantik di hadapannya ini. Perempuan yang mampu membuat dirinya tersenyum setelah stress beberapa minggu selalu dihantui oleh penggemar beratnya.

Bibir Febrian melengkung lebar dan tak perlu menunggu lama terdengar suara kekehan.

Vania yang masih berdiri di posisinya menatap Febrian tajam dan judes.

"Emang ya, udah ditolongin, disamperin karena kangen masih aja begini. Capek batin banget aku suka sama kamu emang," ucap Vania kesal, tetapi terlihat imut di mata Febrian.

"Hm, siapa bilang aku engga kangen? Kan tadi udah aku sambut, home sweet home," ucap Febrian sambil bersedekap.

Merasa bahwa Febrian hanya meledeknya saja dari tadi, Vania menatap lelaki itu dengan menaikan salah satu alisnya dan ikut bersedekap.

"Oh, jadi sekarang kita main kata ya buat bales membalas? Mau ngomong 'kangen juga' pake istilah home sweet home, iya?" tanya Vania membuat Febrian tersenyum geli.

Di dalam hati, Vania menjerit senang melihat senyuman lelaki itu. Rasanya seperti ada kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya saat ini. Entahlah mungkin analogi itu terdengar aneh, tetapi kira-kira seperti itulah yang dirasakan Vania saat ini.

Tubuh Vania lalu berputar menuju dapur untuk mencuci tangannya dan membuang kue yang sudah tak berbentuk saat ini. Tentu selama dirinya berjalan menuju dapur, senyuman di bibir perempuan itu tak henti-henti memudar. Dia sangat senang akhirnya bisa berduaan kembali dengan Febrian.

Karena waktuku tidak banyak lagi, maka aku harus banyak menghabiskan waktu dengannya. -batin Vania sedikit murung.

Sebab bila mengingat bahwa waktunya tidak akan banyak, dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelah sebagian besar dari waktunya selalu dia berikan untuk bertemu dengan laki-laki itu menghilang begitu saja. Kembali kepada rutinitas yang membosankan dan tentu belajar untuk melupakan.

Hah.. beginilah kalau jadinya berani berbuat, pasti akibatnya. Apakah perjalanan cintaku tidak ada yang bisa berakhir bahagia seperti di dongeng-dongeng?-batinnya kembali sedih.

Sebab walau sudah beberapa kali berhubungan dengan seorang laki-laki, baru kali ini dirinya memberikan sebagian besar waktunya hanya untuk bertemu dan berduaan dengan seorang lelaki. Sepanjang dia hidup, setiap lelaki yang ditemuinya tidak pernah membuat dunianya terasa seperti jungkir balik. Apakah ini pertanda dia benar-benar menyukai Febrian?

"Heh.. kalau emang bener, terima nasib tersakiti, bukan?" gumam Vania tanpa sadar membacakan isi pikirannya sambil terus menerus menggosokan tangannya.

Sementara itu, Febrian yang sedari tadi duduk di pantry menatap punggung Vania dengan senyuman sedihnya. Tentu dia memperhatikan setiap gerak gerik perempuan itu sejak Vania beranjak begitu saja tanpa memedulikan keberadaannya. Dia tahu betul apa yang ada di pikiran perempuan itu. Bukan karena dirinya cenayang, tetapi dia merasakan hal yang sama.

CRAZY PATIENT ✔ (Fin)Where stories live. Discover now