30. "Lo sadar nggak sih, kita itu apa?"

1.6K 86 14
                                    

"Rosalyn!"

Nggak dengar, nggak dengar.

"Oi!"

Pft, dia pikir memanggilnya seperti itu akan mau membuat Rosalyn menoleh ke arahnya? Jangan harap, terutama setelah yang barusan.

"Heh, berhenti."

Tangannya diraih. Rosalyn sekalipun akan terpeleset dengan hak setinggi ini dan gaun sesempit yang tengah ia kenakan sekarang jika memaksa tetap jalan, jadi ia terpaksa menghentikan langkahnya. Gadis itu menoleh kepada Jindra dan mendelik. "Apa."

Setelah menjatuhkan satu nampan gelas minuman dan membuat semua orang kalang-kabut di sana masih bisa berkata apa? Tanpa melepaskan genggaman tangannya di pergelangan tangan kiri Rosalyn, Jindra berdiri di hadapan gadis itu. "Lo mau ke mana?"

Sorot mata Rosalyn masih sewot. "Pulang."

"Lo ke sini bareng gue."

"So? Nggak kelihatan kalau lo ingin pulang bareng gue karena sedang sibuk, kan."

"Kalau ngomong jangan ngawur."

"Lo yang jangan ngawur. Sana, balik nikmatin pestanya."

"Gue udah ajak lo pulang dari tadi, lo nggak mau."

"Gee, I wonder why." Perlu ia eja per kata alasannya? Ketika itu Nadya belum berjinjit dan mendekati Jindra. Ketika itu Rosalyn masih bertanya-tanya apa yang sebetulnya ia rasakan. Tetapi Nadya sudah terang-terangan melakukan sesuatu yang bagi Rosalyn tidak termaafkan, dan ia sudah tahu jawaban dari pertanyaan yang ia bawa di hatinya malam ini. Gadis itu melirik ke arah pergelangan tangan kirinya, pada tangan Jindra di sana. "Lepas."

Alis Jindra terangkat dan dagunya mengedik, genggamannya sama sekali tidak mengendur. "Coba."

Rosalyn menatap Jindra tidak percaya. Genggaman itu tidak melukainya sama sekali dan ia tidak pula diseret-seret tanpa harga diri, tapi mana bisa ia menang dari Jindra soal ini? Oh, benar. Ia selalu bisa mencoba. Gadis itu mengambil satu langkah mendekat ke arah Jindra sehingga paha mereka saling bersentuhan dan ia menyadari kakinya kedinginan. Kakinya juga agak perih, entah di sebelah mana. Rosalyn berbisik di dekat leher Jindra. "Lepas, nggak?"

Kepala Jindra balas mendekat ke arah wajah Rosalyn, seakan setiap saat bisa mengambil ciuman lagi di bibir gadis itu. "Kaki lo luka."

Huh? Pandangan Rosalyn bergerak turun, akhirnya melihat goresan merah di kakinya.

Jindra menyentil kening si gadis, mengabaikan Rosalyn yang lagi-lagi melemparkan tatapan membunuh padanya. "Kayak gitu mau pulang sendiri?"

"Cuma luka kecil."

Jindra memutar mata.

"Lagian gue sendiri yang bikin ini." Kelihatannya ini dari serpihan kaca yang berhamburan karena beberapa menit lalu tangannya gatal ingin menjambak Nadya tapi gadis itu tidak dalam jangkauan, sehingga benda terdekat yang bisa dihancurkannya menjadi pelampiasan.

"Ngomong apa sih, luka kecil bisa jadi gede kalau nggak diobatin." Dia yang ngomong apa, seakan Jindra Suryo adalah orang yang bisa dipercaya jika itu mengenai tubuh yang terluka. Tetapi hal semacam itu adalah makanan Jindra sehari-hari sejak dulu, toleransinya tinggi dan butuh lebih dari sekadar tubuh ringsek untuk membuatnya kapok. Rosalyn, di sisi lain, adalah cerita yang berbeda. Gadis ini bahkan tampak tidak menyadari kakinya terluka, tapi Jindra yang tidak senang melihat kaki itu kenapa-kenapa, tsk.

"Kata orang yang kemarin digebukin."

"Tepat. Yang kayak gitu nggak cocok buat lo." Jindra merapatkan jaketnya yang masih membungkus tubuh Rosalyn. "Gue ambil motor."

Jindra seharusnya mengatakan lebih banyak dari ini, dari sekadar mencemaskan luka yang tidak ia rasakan dan berkata dia hendak ambil motor. Dia seharusnya menjelaskan apa yang dia lakukan di bawah pencahayaan paling terang pesta tadi, berdiri di hadapan Nadya, kepalanya mendekat ke arah gadis itu. Tetapi lelaki itu tidak berkata apa-apa hingga motornya berderum tiba di dekat Rosalyn, jadi gadis itu memasang helmnya dengan perasaan campur aduk dan naik ke jok belakang tanpa mengatakan apa pun.

There, there. Apa ia bahkan berhak merasakan semua ini? Jindra tidak kelihatan meladeni Nadya dengan pemujaan yang dilakukan nyaris seluruh populasi murid lelaki di Rajendra dan Rosalyn hampir yakin Jindra juga terganggu dengan bagaimana perempuan itu mengundang spotlight yang tidak dia minta di pesta. Tetapi Jindra mendekatkan kepalanya kepada Nadya dan mengatakan sesuatu pada gadis itu adalah fakta. Dan kepala Rosalyn masih belum bisa mengenyahkan bayangan itu sepanjang perjalanan pulang, membuat kakinya terasa lebih dingin dibanding saat berangkat dan ia baru menyadari lukanya agak perih.

Mulutnya masih terkunci saat ia turun dari motor Jindra ketika mereka sudah sampai. Mulutnya juga masih akan terkunci jika Jindra tidak melepas helmnya lalu berlutut di depan Rosalyn, jemari lelaki itu meraih kakinya.

"What are you doing?"

"Kelihatannya apa?" Kening Jindra berkerut. Meski sempat ada darah, ternyata memang cuma luka gores. Tangannya belum meninggalkan betis Rosalyn dan lelaki itu mendongak menatap Rosalyn. "Lo masih punya obat, kan?"

"Masih." Dasar. "Meski bukan urusan lo sama sekali." Menyebalkan.

"Lain kali kira-kira kalau mau jatohin barang."

Dasar super menyebalkan. "Ya menurut lo kenapa gue begitu?!"

Alis Jindra terangkat.

Jindra Suryo tidak peka nyaris 24/7, sebanyak itu Rosalyn tahu, karena kalau dia sedikit lebih peka dia tidak akan menanyakan 'lo suka sama gue?' sembari mendekatinya beberapa saat lalu di pesta seakan-akan apa yang terjadi di antara mereka selama ini belum cukup jelas. Tetapi untuk menjawab pertanyaan di balik sepasang alis yang terangkat itu butuh banyak nyali di pihaknya sendiri. Tangan Jindra di betisnya mengirimkan sengat sebab di saat yang sama terasa menenggelamkan tapi juga belum, tidak, cukup. Lelaki itu masih memandangnya; masih ingin mendengarnya mengatakan alasan di balik kemarahan dan sikapnya yang sukar dijelaskan malam ini. Jindra menyiksanya, dan dia tidak kelihatan menyadari itu.

"Nadya mau cium lo," bisik Rosalyn akhirnya.

Tangan Jindra meninggalkan betis Rosalyn dan dia berdiri. Dilepasnya kaitan helm Rosalyn dan ditatapnya gadis itu lurus-lurus. "Gue nggak mau cium dia."

Mendengar ini, Rosalyn memalingkan wajah.

Helm Rosalyn dilepas Jindra, lantas tangan lelaki itu membetulkan rambut sang gadis. "Gih, buruan diobatin lukanya."

Lebih dari apa pun yang dialaminya malam ini, perlakuan barusan menusuk Rosalyn.

Matanya nanar saat menatap Jindra. "Lo sadar nggak sih, kita itu apa?"

Jindra menyelipkan seutas anak rambut ke balik telinga Rosalyn. "Sadar," jawabnya.

Terlalu sadar.

***

ouch.

makasih banyak buat yang udah vote dan comment yaa, yuk yuk 💕

I Slept With My StepbrotherWhere stories live. Discover now