🌹Agnes Rosalyn Hardianta

16.2K 206 1
                                    


📍 New York

"Tidak bisakah aku tetap tinggal di sini?"

Ibunya menggeleng.

"Jakarta panas."

"Kau selalu suka tempat-tempat hangat."

Rosalyn meletakkan sendoknya. "Tidak dengan Jakarta."

"Kita sudah membicarakan ini berulangkali."

Ia memutar mata.

"Ayahmu akan mengurusmu di sana, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Berkas-berkas kepindahan sekolahmu juga sudah lengkap sehingga kau tidak perlu menunggu waktu lama untuk memulai bersekolah."

Rosalyn pernah berpikir ia sudah tidak bisa terluka lebih jauh lagi; tidak setelah ibunya mendadak memberitahunya bahwa ia harus pindah ke Jakarta sesegera mungkin karena skandal di museum tempat perempuan itu bekerja. Tetapi, ternyata masih menyengat. Masih segar dalam ingatan sang gadis bagaimana sebulan yang lalu ia terbangun pada suatu pagi dengan ibunya duduk di tepi tempat tidurnya dan membandingkan dua blazer. Aku tidak suka warnanya, Rosalyn ingat itu yang ia katakan, masih dengan mata berat karena kantuk dan keinginan untuk menyentakkan gorden kembali tertutup. Aku juga tidak, begitulah Isabel menjawab, tapi pengacaraku menyarankan warna-warna ini, dia bilang ini akan membantu impresiku di konferensi pers hari ini.

Hari itu juga, ia menyaksikan ibunya dilimpahi banyak blitz kamera dan cecar tanya dan ia orang yang terakhir tahu.

Menggelikan. Sejak kabar itu, semuanya seperti runtuh perlahan-lahan. Maid mereka dipulangkan ke agen, media sosialnya penuh dengan kata kunci yang ia block dan mereka berisi segala hal terkait ibunya, pada akhirnya ia berhenti mengenakan seragam Nightingale-Bamford. Rosalyn mendorong mangkuk sarapannya ke tengah meja, sama sekali tidak berselera.

"Mama bahkan tidak peduli pendapatku soal ini."

"Ini untuk kebaikanmu sendiri."

"Aku tidak meminta kebaikan semacam itu."

"Sudah ada apartemen untukmu di sana, Rosalyn. Kau selalu bilang ingin tinggal sendiri, kan. Di daerah... ah, aku lupa namanya. K-sesuatu. Hm." Isabel mengalihkan pandangan dari tabletnya dan tersenyum pada sang gadis. "Akan kukirim alamatnya dari pesan ayahmu."

"Dia tidak bisa menghubungiku sendiri?" Bagus, sekarang ibunya harus membawa-bawa ayahnya. Rosalyn menghabiskan tahun-tahun yang panjang menganggap ayahnya tidak memiliki urusan lagi dalam hidupnya. Itu sama sekali tidak sukar dilakukan karena ibunya punya posisi di kota ini dan keluarga ibunya pun demikian. Lingkaran sosialnya tahu itu, mereka tidak pernah memaksanya mengingat hal yang tidak ingin ia ingat, terkadang gadis itu bahkan menggunakan nama keluarga ibunya. Tetapi Jakarta? Jakarta berbeda. Di Jakarta ayahnya yang punya nama dan Rosalyn tidak bisa melepaskan itu dari kulitnya, dagingnya, darahnya.

Tidak bila nama itu adalah Hardianta.

"Kau tahu bagaimana dia. Tapi dia akan menjemputmu. Langsung ajak dia makan keluar begitu kau bisa. Dia akan mau mendengar semuanya darimu—bagaimana sekolahmu, aktivitas ekstrakurikulermu, rencana kuliahmu."

"Seakan dia peduli." Ya Tuhan, ini bahkan belum ada pukul sembilan pagi dan kepalanya sudah pusing. Ritme hidupnya berubah sejak sebulan yang lalu dan ia merasa tenggelam perlahan. "Mama lupa dia sudah punya istri?"

"Tidak, tidak pernah lupa."

"Kau terdengar lupa." Dan ia terdengar sangat pahit, seperti seorang gadis yang tengah dicampakkan. Tapi, tunggu, memang itulah dirinya saat ini bukan? Ibunya dalam proses membuangnya ke sebuah kota yang tidak pernah lagi ia singgahi sejak usianya lima tahun. "Aku sudah lupa bahasa Indonesia."

"Omong kosong, kau masih sefasih dulu."

"Sudah dua belas tahun." Rosalyn tertawa dan bangkit dari kursinya. Ia tidak akan pernah bisa menang melawan ibunya. "Apa pun yang kukatakan di usiaku yang kelima akan terdengar seperti sampah sekarang."

"Satu, kau akan masuk sekolah internasional, jadi tidak akan ada kesulitan—"

"Bukan bahasa saat sekolah yang kupermasalahkan." Bahkan bukan bahasa yang sedang ia permasalahkan; bahasa hanya merupakan entry point.

"Dua, kau selalu belajar sesuatu dengan cepat. Kurasa akan mudah saja." Tablet diletakkan. Isabel menyandarkan punggung di kursi, kelihatan masih setenang setengah jam yang lalu saat meletakkan bubur oat di hadapan Rosalyn dengan potongan stroberi yang besarnya tidak sama dan kacang yang tidak tercincang dengan benar. "Ini tidak perlu menjadi sesuatu yang sulit. Lagi pula, ini hanya untuk sementara, sampai bajingan-bajingan itu berhenti mencoba ikut menyeret semua yang ada di sekitarku."

"Aku lebih memilih untuk jatuh bersamamu daripada kembali ke kota itu."

"Kau tidak serius mengatakannya." Isabel meraih tangannya. "Jadilah gadis manis untukku sekali ini saja. Ya, Sayang? Kau bisa melakukannya?"

Rosalyn sudah bersumpah ia tidak akan pernah membiarkan ibunya melihatnya menangis. Ia hanya harus bertahan sampai saat pesawatnya meninggalkan JFK. Gadis itu melepaskan tangannya dari genggaman ibunya.

"Kukira Mama benci dengan keluarga Papa."

Ia tidak menunggu balasan Isabel terdengar dan langsung keluar dari ruang makan. Kursinya tidak dikembalikan dengan benar. Tidak lama kemudian gadis itu telah ada di Balthazar's, di hadapan sepiring panekuk dengan mentega meleleh-leleh. Ponselnya berkedip sekali.

Don't forget your flight tomorrow.

Rosalyn tahu pesan itu dikirim oleh Isabel dalam perjalanannya ke kantor pengacara.

I Slept With My StepbrotherOnde as histórias ganham vida. Descobre agora