10. "People are dying to be talked here."

2.1K 87 2
                                    


TRADISI musim panas Rosalyn termasuk menghabiskan akhir pekan di Long Island bersama kakek dan nenek dari pihak ibunya. Kakeknya punya rumah musim panas dengan dinding dan bingkai jendela dicat putih, lapangan tenis, dan langit yang terhampar kapan pun. Pria itu selalu berkata dia terlalu tua dan tidak bugar untuk bisa mengimbangi Rosalyn, tapi dia punya anekdot-anekdot paling ironis yang kerap membuat Rosalyn tertawa di antara pukulan bola dan deretan kenalan menarik yang diundangnya untuk bersantai dan makan siang: seorang produser film indie, mahasiswa pascasarjana antropologi, atlet anggar, seorang penulis Rusia. Ibunya memilihkan minuman untuk Rosalyn dan mengenalkannya pada tamu perempuan itu; ibunya dan kakeknya bergantian mengundang orang, itu membuatnya bertemu pula dengan seniman dan desainer dan orang-orang berpengaruh di Yale. Neneknya mengatur menu dan bermain piano. Di beberapa kesempatan, Rosalyn akan diminta mengiringi serta dalam sebuah duet.

Gadis itu memburu foto sunset sebanyak yang ia bisa selama musim panas—baik di Long Island maupun di hari-hari lainnya di New York. Disimpannya foto-foto tersebut dalam koleksi tersendiri. Beberapa dicetaknya dan dimasukkan ke dalam album. Ia menulis perasaannya dalam caption-caption singkat dengan spidol berwarna merah marun dan cokelat mahoni.

Hari-hari musim panas yang sama sedang ia rindukan saat ini; saat ia menatap bayangannya di cermin toilet Rajendra sepuluh ribu mil jauhnya dari musim panas itu. Kelas tengah berlangsung dan kerangka esai yang harus dikerjakannya on the spot masih tersisa 40%. Agak susah berkonsentrasi ketika pikiran di balik rambut yang tergerai itu sedang ada di New York; berusaha lepas dari ruang kelas dengan pendingin milik Rajendra, dari Jakarta, dari matahari di luar sana. Hari-hari belakangan ini selalu terasa cerah, hampir membuatnya menipu diri sendiri bahwa di sini pun sedang musim panas. Tetapi matahari tidak pernah bertahan lewat jam enam di sini, senantiasa mengingatkan sang gadis bahwa ini Indonesia. Beberapa kali ditangkapnya sunset saat ia sedang dalam perjalanan pulang ke apartemen atau meninggalkan apartemen dengan mobil, tapi belum pernah ada yang tertangkap lensa kameranya.

Rosalyn membuka keran wastafel. Apakah hari Minggu nanti sebaiknya sengaja ia kosongkan? Jalan-jalan saja memutari Jakarta dengan membawa kamera. Hitung-hitung itu bisa dijadikan alasan untuk tidak bisa datang ke Menteng, ke rumah ayahnya.

"Hei."

Rosalyn mengangkat wajah dan mendapati Nadya Hamid berdiri di sebelahnya. Ia mengedikkan bahu sebagai sapaan balas.

"Gimana rasanya masuk RSociety?"

Apa tadi rencananya? Benar, hunting foto. Tapi mungkin seharusnya ia mencari tahu dulu bagaimana cara supaya tidak diusik sepanjang waktu di sekolah yang anak-anaknya bawel seperti ini. Imbisil mana pun yang membuat blog terkutuk itu bisa terbakar di neraka sekarang. "Like shit."

Nadya terkikik. Ia belum membuka pintu keran. "Lihat sisi baiknya, dong. Lo diomongin."

"That's supposed to be a good thing?" Selain mengambil ciuman pertamanya di bawah bleachers, Jindra Suryo juga berkata untuk tidak memusingkan blog itu. It is what it is, kata sang pemuda. Rosalyn sedang belajar untuk menerapkannya karena menurutnya itu saran yang oke dan masuk akal. Ia sendiri tidak bisa berpikir jernih soal ini—terlalu banyak perasaannya yang terlibat. Jadi sebaiknya ia cepat kembali ke kelas sebelum Nadya membuat mood-nya jatuh lebih jauh lagi.

"Of course it is! People are dying to be talked here."

"Anyone can just take my spot." Rosalyn memperhatikan Nadya dari atas sampai bawah. Dia gadis dengan wajah khas campuran Arab dan dan rambut ikal yang kecokelatan di ujungnya. Dia masih mengenakan kalung yang sama yang Rosalyn perhatikan beberapa waktu lalu; kalung yang identikal dengan setidaknya tiga kalung lainnya. "Or perhaps you want that?"

I Slept With My StepbrotherDonde viven las historias. Descúbrelo ahora