16. "Nasty stuff."

1.7K 84 15
                                    

Trigger Warning: sexual offense; may contain disturbing content.

***

"Ya, ini aku sudah mau pulang."

"Sudah makan siang?"

What is she, a five years old? Rosalyn mengamati foto-foto yang ditempelnya di bagian dalam pintu lokernya. "Sudah."

"Nanti malam mau temani Papa makan di luar?"

"Makan apa?"

"Kamu yang pilih."

"Hm." Rosalyn menelengkan kepala. Apa kabar coat yang dipakainya di Swiss ini? Jelas tidak dibawanya ke Jakarta. Kalau ibunya sibuk dengan urusan sidang dan asisten rumah tangga mereka yang lama diberhentikan, siapa yang mengurusi penthouse mereka sekarang? Gadis itu menghela napas. "Italian, ya."

"Oke. Papa akan bilang Ibu. Dia tahu banyak tempat yang bagus."

Haha. Sudah ia duga, lupakan saja. Rosalyn berhenti mengamati foto dan berhenti pula bersandar. "Sebentar. Aku baru saja ingat masih punya banyak tugas yang belum kuselesaikan."

"Rosalyn—"

"Masih ada lagi, Pa? Mau pesan Grab."

"Pulang sama sopir aja, Papa suruh dia ke sana. Nanti malam—"

Diputusnya panggilan itu. Antara ayahnya bercanda atau lebih naif daripada yang ia kira, keduanya sama-sama mengesalkan. Apakah kali terakhir ia makan semeja dengan istri baru pria itu belum cukup bagi Ginanjar Hardianta untuk menyadari bahwa Rosalyn tidak suka? Ia mengharapkan bisa quality time dengan sosok yang selama dua belas tahun tidak ada dalam hidupnya sesudah seharian diterkam gosip biadab. Menarik kursi ketiga di meja untuk istri baru ayahnya tidak masuk dalam agenda.

Gadis itu mengantungi ponselnya lalu mengeluarkan cermin. Semalam ada bercak kemerahan muncul di bagian T wajahnya. Sudah agak mendingan tadi pagi dan sebetulnya tidak akan kelihatan juga kecuali kau memelototinya. Tetapi apa yang dilaluinya hari ini sangat mungkin menyumbang stres lagi untuk kulitnya dan Rosalyn penasaran. Ia tengah menekan-nekan area di sekitar pangkal hidung ketika menyadari ada satu sosok yang tertangkap cerminnya—sosok selain dirinya, berdiri di loker seberang.

Wajah asing, cowok, tidak kenal. Tapi pandangannya, ck, kenapa sih. Ia sedang bercermin begini, apa yang mau dilihat?

Buru-buru ia mengembalikan cermin itu kembali ke dalam loker dan mengunci loker lantas, dengan tas sudah tersampir di bahu. Rosalyn membuka ponselnya lagi dan membuka aplikasi Grab kali ini; otomatis mengeluh dalam kepala tatkala melihat sudah jam berapa saat itu. Jalanan pasti akan macet. Apa boleh buat. Jarinya baru akan menekan order ketika ia mendengar siulan.

"Mau pulang?"

Cowok di loker seberang itu mendekat, lebih dekat dari yang seharusnya. Rosalyn mengamati dari sudut mata, tidak merespon.

"Saw the posts today. Nasty stuff."

Idiot, apakah diamnya belum cukup untuk membuatmu sadar ia sedang tidak ingin mengobrol saat ini? "Huh," gumam gadis itu. Sebuah pesan masuk dari ayahnya. Rosalyn membaca pesan itu yang berupa ajakan lagi untuk keluar nanti malam. Mendadak ia merasa sangat tidak nyaman, dan bukan karena pesannya.

"Ada yang mau ketemu, nih."

That grabs her attention. "Who?"

Si cowok berdeham. Badannya menjulang, Rosalyn menaksir tingginya 190 cm atau bahkan lebih, dengan wajah sempit kemerahan dan sepasang mata kecil cekung di bawah kening yang keras kepala. "I think you know who. Yuk gue anter. Sekalian gue mau ke belakang."

This is ridiculous. "Nadya?"

Cowok itu tersenyum. "Ayo."

Rosalyn tidak tahu apa yang ia pikirkan saat itu, tapi ia mengikuti si cowok. Gosip hari itu masih membuatnya ingin meledak dan Nadya adalah Tersangka Nomor Satu dalam kepala Rosalyn. Jadi bukannya memesan mobil untuk pulang dan menunggu di depan gerbang, ia mendengarkan hatinya yang penasaran dan mengikuti cowok itu. Mereka melewati koridor dan kelas-kelas yang semakin kosong. Terkadang pula berpapasan dengan satu atau dua cleaning service. Cowok itu memperkenalkan diri sebagai Victor. Year 12, dia bilang. Satu angkatan dengan Jindra, kalau begitu—bukan berarti Rosalyn menyinggung-nyinggung fakta itu. Victor berjalan di depannya hingga mereka sampai di belakang, lalu menjajari langkahnya.

"Dia nyuruh lo bawa gue ke lapangan? Tempat latihan cheers?"

Terdengar suara gumam-gumam.

"Tahun berapa sih ini, masih suruh orang dan bukannya datengin gue sendiri." Rosalyn menggertakkan gigi. "Kalau gue nggak penasaran..."

"Kalau lo nggak penasaran, apa?" Victor terkekeh. Ini membuat Rosalyn menoleh ke arahnya, dan gadis itu mendapati senyum samar di wajah Victor. "What would you do, a slut like you?"

What? "Fuck off."

"Jangan tersinggung." Victor terbahak. "Gue nggak punya masalah dengan cewek kayak lo sama sekali."

"Cewek kayak gue?" Rosalyn berhenti melangkah. Mereka tiba di sisi clubhouse Chevaliers dan lapangan kala itu begitu sepi. Gadis itu mencengkeram tali tasnya. "Heh, berengsek, lo beneran bawa gue ke Nadya nggak?"

"Beneran, beneran," tangan Victor terulur dan detik berikutnya dia mencengkeram pergelangan tangan Rosalyn begitu erat, menyeretnya.

Gadis itu memekik, instingtif menendang. Tapi Victor tidak bereaksi sama sekali pada tendangan itu kecuali menoleh ke arahnya dan memamerkan senyum lain. Dia terkekeh samar sekali lagi. Matanya berkilat dalam cara yang membuat Rosalyn merinding. "Lepaskan, kalau emang Nadya yang mau ketemu lepaskan, gue bisa jalan sendiri"

"Don't think you can."

Ia dihempaskan di dinding luar clubhouse. Ponselnya jatuh ke tanah dan begitu pula dengan tasnya. Mata gadis itu nanar mencari-cari keberadaan orang lain. Tetapi seperti tidak ada kehidupan di sana, dan ia menyumpah-nyumpah karena hari ini kelihatannya sama sekali bukan jadwal latihan Chevaliers atau klub manapun. Satu tangan Victor memerangkap ruang geraknya sementara satunya lagi ada di dagu Rosalyn. Ia bisa mencium napas cowok ini; sesuatu yang mirip terlalu banyak bacon dan mentega. Rosalyn mual. Gadis itu membeku karena rasa takut di bawah tatapan Victor yang menjijikkan.

"Nadya memang pengen ketemu, tapi nggak sekarang."

"Apa—"

"Dia bilang yang sekarang ketemu elo mendingan gue dulu. You know." Tangan Victor meraih pahanya. Rosayn mendelik. "Having a taste of the slut? Like, it's totally hot how you are down to fuck for anything that moves. Men, women..."

Ditamparnya Victor dan didengarnya tawa terkikik. Ia menoleh mencari-cari sumber suara, tapi secepat itu pula kepalanya disentakkan ke arah yang berkebalikan dan tangan Victor meraih lehernya, lalu pahanya. "Get off, you fucklet me go—" Jemari panjang-gemuk merabai pahanya, naik, ke atas terus, bersamaan dengan cengkeraman di lehernya yang perlahan tapi pasti menguat. Tangan Rosalyn menghantam-hantam Victor, berusaha balas mencekik si berengsek, tapi udara terasa menipis baginya perlahan-lahan karena tangan itu tidak pernah berhenti, terus naik, menghilang ke balik roknya

*

I Slept With My StepbrotherOnde as histórias ganham vida. Descobre agora