🌪️Jindra Adhitama Suryo

9.3K 153 1
                                    

📍Jakarta

Laki-laki itu sudah melakukan ini ribuan kali, bertarung di jalanan dan mendapat banyak memar. Bagi Jindra, memar dan luka yang didapatkan adalah bentuk kebanggaan. Anak lelaki selalu bangga dengan hal-hal semacam itu. Dia tidak punya kecerdasan yang membuatnya bisa mendapatkan medali, sebuah luka hasil berkelahi terasa lebih membanggakan. Dan lebih membanggakan jika dia menang, tentunya.

"Anjing, lo, Jin, kalau bukan karena backing-an lo Harsa—"

"Gue ngalahin lo malam ini nggak ada hubungannya sama Bang Harsa."

Sepatu bolanya yang bergerigi menekan lebih keras kepala sosok yang tersungkur di bawah kakinya, menyebabkan pecundang yang baru saja kalah darinya meneriakkan erangan kesakitan.

Jindra baru saja menyelesaikan sesi latihan sore klub olahraga sekolah yang dia bela sejak kelas 10, Rajendra Chevaliers. Hanya sepatunya yang belum diganti, segala atribut yang menandakan dia bagian dari tim olahraga elit yang disegani se-Jakarta itu sudah lenyap berganti kaus oblong hitam dan jeans senada. Memang dasarnya berandalan, disekolahkan di sekolah internasional yang penuh dengan anak-anak berduit pun tidak lantas membuatnya bersikap seperti mereka.

Pulang sekolah langsung berkelahi dan memalak orang bukan kebiasan yang bisa hilang hanya karena bersekolah nyaris tiga tahun di Rajendra.

"Duit lo cuma segini?" Jindra berdecak setelah mengecek dompetnya si pecundang yang dia ambil paksa, terang-terangan menunjukkan dia kecewa berat. "Gaya lo kayak anak gedongan tapi cuma ada selembar dua puluh ribu di dompet lo?"

"Sekarang jamannya e-wallet—"

"Kalau lo udah kalah, terus nggak ada duit, nggak usah banyak bacot." Kali ini tendangan yang dia sarangkan di perut si pecundang yang kembali mengerang. Jindra melempar asal dompet itu setelah memasukkan lembaran uang yang ada ke saku celananya. "Lo tahu orang-orang di jalanan manggil gue apa?"

Ada jeda sejenak, tapi lalu si pecundang berujar dengan gigi bergemeletuk. "Topan..."

Jindra memutar mata, kembali memberikan tendangan. "Hurricane. Otak lo sekecil apa sampai nggak bisa inget itu?"

Si pecundang tidak mengeluarkan balasan lagi, tampaknya sudah K.O duluan.

Jindra hanya berdecak dan memutuskan untuk pergi dari TKP sebelum ada orang lewat di gang ini. Dia menyalakan rokok untuk meredakan kepalanya yang pening, pukulan si pecundang yang namanya sudah dia lupakan itu lumayan juga ternyata. Badannya bonyok lagi dan pelatihnya pasti akan ngomel-ngomel besok pagi.

Tinggal bilang dia habis jadi korban palak—ck, mana ada yang percaya!

Selagi kepalanya sibuk memikirkan alasan untuk diberikan pada pelatih Chevaliers yang akrab dengan julukan 'Monster', HP-nya bergetar tanda ada notifikasi baru. Jindra sudah berada di motornya yang belum dinyalakan, dan dengan enggan dia ambil juga benda itu untuk mengecek siapa yang menghubunginya.

From: Jangan Diangkat

Jangan buat masalah lagi ya nak, kamu udah kelas 12. Ibu gak suka jika kamu masih sering berantem
Udah pulang sekolah kan? Pasti capek latihannya, mau makan malam sama Ibu? Udah lama kita gak ngobrol banyak
Ibu ada di restoran di Dharmawangsa, tolong datang kali ini aja

Way to kill the mood.

Wanita ini paling jago dalam urusan merusak harinya.

Begini, ya, Ibunda tersayang, kamu tidak bisa meninggalkan anakmu yang baru berusia dua belas tahun untuk menjadi istri mudanya pengusaha yang masuk daftar sepuluh orang terkaya di Indonesia, lalu masih belagak peduli dan memberi nasihat macam-macam. Caranya tidak seperti itu. Banyak hal yang tidak bisa dituntaskan cukup dengan uang bulanan, apartemen mewah di Kemang, atau menyekolahkannya di sekolah internasional. Termasuk mereparasi hati bocah dua belas tahun yang hancur ketika ibunya tidak mengakuinya sebagai anak demi imej di keluarga barunya dan tidak pernah kembali lagi.

Dia dibuang, titik.

Tangannya mengetikkan balasan dengan cepat, seperti balasannya yang sebelum-sebelumnya:

To: Jangan Diangkat

OGAH

Motornya membelah jalanan malam Jakarta dengan apartemen mewah pemberian ibunya di Kemang atau restoran di Dharmawangsa bukan sebagai tujuannya.

I Slept With My Stepbrotherजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें