25. "I bet you look gorgeous in black tie and suit."

1.6K 83 23
                                    

"Dia nyariin lo terus pas lo nggak masuk kemaren."

"Monster?"

"Rosalyn."

Jawaban itu entah bagaimana terdengar lebih berbahaya ketimbang pelatihnya mencari-cari keberadaannya setelah absen selama tiga hari. Jindra membanting agak keras pintu lokernya di clubhouse Chevaliers, dan wajah Wahyu yang sedang cengengesan di sebelahnya langsung terpampang. Ada godaan besar untuk menoyor kepala itu dan langsung melenggang pergi, tapi pada akhirnya Jindra hanya menghela napas sambil mengenakan jersey-nya yang bernomor punggung 7, menutupi lebam dan memar yang masih bersarang di tubuhnya.

"Dia cuma nanya ke gue satu kali, sih. Tapi gue juga sering ngeliat dia ngider di deket ruang kelas kita sambil lirik-lirik ke dalem, mukanya khawatir gitu. Parah banget lo, Jin, bisa-bisanya nggak bilang ke Rosalyn kalau lo nggak bisa masuk sekolah, kasian dia cemas banget disiksa rindu." Wahyu masih nyerocos selagi mereka berdua berjalan keluar dari clubhouse untuk memulai sesi latihan sore ini.

Jindra sudah biasa dengan gaya bicara Wahyu Wicaksono yang serba lebay—semuanya jadi dangdut jika berhubungan dengan cowok ini—bagian bahwa Rosalyn 'khawatir' dan 'cemas banget' sampai-sampai ke kelasnya terus-terusan rasanya terlalu dibuat-buat. Tapi, jika mengingat pertemuan mereka tadi pagi; Rosalyn yang membombardirnya dengan berbagai pertanyaan seakan tidak ketemu sebulan, dan bagaimana gadis itu begitu ngotot minta penjelasan mengenai apa yang dia ucapkan di makan malam keluarga sialan itu, apa mungkin adiknya memang mencarinya sepanjang ketidak munculannya tiga hari ini?

Tsk, Jindra baru menyadari dia gemar menyiksa diri sendiri karena terus mengulang kata itu di kepala: adiknya. Rosalyn adalah adiknya. Adik tiri, tapi tetap saja adiknya secara hukum yang diikat oleh pernikahan orang tua mereka.

Tidak akan ada yang pernah bisa terjadi di antara keduanya, itu memang mengubah segalanya.

"Sudah sehat kamu, Jindra?"

Begitu keluar dari clubhouse, Mochtar Gunawan yang masih kelihatan gagah di usianya yang mencapai lima puluhan akhir langsung menegurnya dari pinggir lapangan. Pria itu memberi aura intimidatif hanya dari berdiri tegap dengan kedua tangan terlipat di dada dan menatapmu tepat di mata, membuat siapa pun lawan bicaranya akan ciut dan tidak berani mengangkat wajah. Di sebelahnya, ada Maya Hanafi selaku manajer yang tengah sibuk mencatat laporan latihan harian tiap pemain.

"Sudah, Coach." Jindra berdiri di hadapan pelatih Chevaliers, dalam hati bersyukur ibunya menikah dengan pengusaha kaya raya sehingga memiliki kuasa untuk membuat surat izin dokter yang menyatakan dirinya kecelakaan motor. Reaksi Monster akan sepuluh kali lipat lebih ganas jika tahu kenyataannya.

"Surat izin yang Maya kasih tertulis izin untuk lima hari, kenapa sudah masuk?"

"Saya pulih lebih cepat, Coach, dan agar bisa turun di pertandingan besok melawan 99ers."

Tiga hari terakhir dia habiskan dengan mengungsi ke kontrakan Regar di Kapuk—mengisi waktu luangnya dengan main PS dan biliar seharian—dan berakhir kebosanan di sana karena tidak ada aktivitas fisik yang bisa dia lakukan dengan badan babak belur, kecuali ingin memperparah kondisinya. Itu mungkin memulihkan luka fisiknya, tapi salah satu organ tubuhnya yang busuk masih tetap berantakan. Setidaknya tidak berjarak hanya beberapa pintu dari Rosalyn membuatnya merasa lebih waras, tidak ada dorongan untuk mendatangi kamar apartemen gadis yang seharusnya adalah adiknya pada malam hari dan melakukan hal-hal terlarang di sana.

Mr. Mochtar berdecak, membuat perhatian Jindra teralih kembali pada pelatihnya. Pria itu geleng-geleng kepala selagi menganalisisnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Kamu akan tetap di bangku cadangan dengan wajah bonyok seperti itu, saya tidak mau ambil risiko."

Ada banyak sanggahan yang terpikir di kepala, tapi mulutnya tetap bungkam. Di hadapan Mochtar Gunawan, tidak ada pemain yang bisa menentang ucapan sang pelatih. Jindra hanya bisa menahan keki sambil mengangguk dan pamit untuk melakukan pemanasan.

Latihan sore itu terasa berjalan lebih lama dari biasanya, mungkin karena Jindra sudah tiga hari terakhir absen, atau karena dia mendapati dirinya sendiri tanpa sadar selalu mencuri pandang ke arah pinggir lapangan tempat skuad cheerleader latihan dan berharap menemukan satu sosok tertentu di sana di antara belasan gadis-gadis berpom-pom.

Tapi Rosalyn tidak hadir di latihan cheerleader sore ini, atau mungkin kemarin-kemarin juga tidak, mana dia tahu. Atau, si Biduan sungguhan mengeluarkannya seperti yang gadis itu bicarakan di kafetaria minggu lalu.

Terserahlah, bukan urusannya juga. Rosalyn mau ada di mana saat ini tidak ada hubungan dengannya. Sejak kapan dia jadi kakak yang sebegitu perhatiannya pada adik sendiri, ha!

Karena sebelumnya tidak pernah punya adik, Bego!

Karena gadis yang ternyata adalah adiknya adalah gadis yang sama dengan yang berbagi ciuman tiga kali dengannya, dan Jindra harus menghadapi kenyataan bahwa sekarang mereka adalah saudara. Mereka harus bertingkah seperti saudara, tanpa ada ciuman atau sentuhan-sentuhan, lebih-lebih bermalam di ranjang yang sama.

Dia bisa melakukan itu. Menjadi kakak untuk Rosalyn, dia bisa melakukannya.

"Kak Jindra."

Di akhir latihan, tepat setelah Anthony menyelesaikan sesi team talk dan Monster mengumumkan daftar Starting XI untuk pertandingan besok di SMA Mutiara—yang tidak menyertakan namanya, tentu saja—seorang gadis dengan short pants hitam dan kaus latihan cheer ketat yang mengekspos lekukan tubuh mungilnya menghampiri Jindra. Si Biduan muncul ditemani dua dayang di kanan-kirinya yang sekarang tengah senyam-senyum seperti sedang merencanakan sesuatu.

Jindra hanya bisa mengerutkan kening keheranan dengan kemunculan tiga kurcaci ini. "Apaan?"

Ini sudah sore, namanya diturunkan ke bangku cadangan, dan sekarang langkahnya yang hendak masuk ke clubhouse ditahan-tahan. Tubuhnya penuh peluh dengan rambut basah karena keringat, sisa-sisa dari sesi latihan barusan yang melelahkan seperti biasa.

Si Biduan—ya, ya, namanya Nadya Hamid, seperti yang disiulkan Jerome dan Felix selagi keduanya berjalan masuk ke clubhouse dan memberi Jindra pandangan sirik—tersenyum manis padanya, rambutnya yang dikuncir kuda tinggi ikut bergoyang-goyang ketika gadis itu menoleh ke arah dayang-dayangnya dan meminta sesuatu dari mereka. "Karena Kak Jindra nggak masuk dari kemarin, aku baru bisa ngasih ini sekarang."

Tubuhnya kembali berbalik, membuat kuncir kudanya bergoyang lagi. Jindra merasa pening dan gagal fokus karena rambut si Biduan sampai-sampai butuh beberapa sekon untuk menyadari bahwa gadis itu menyodorkannya sesuatu. Sebuah undangan yang kelihatan fancy dan handmade dengan tulisan tangan menggunakan tinta putih meliuk-liuk mengukirkan namanya di depan. Jindra membuka isi undangan yang didominasi warna hitam dan putih masih dengan kening berkerut-kerut.

You are invited to Nadya's 17th Birthday, terukir dengan penuh glitter dan wewangian yang menyengat hidung, acaranya Sabtu ini di sebuah kelab di daerah Sudirman.

"It's a black and white themed party," suara si Biduan bersenandung riang, tangannya terulur menyentuh lengan berotot Jindra, "I bet you look gorgeous in black tie and suit."

Menghadiri pesta ulang tahun di tengah kekacauan hidupnya adalah hal terakhir yang akan Jindra lakukan, dia membiarkan si Biduan berlama-lama menyentuh lengannya selagi dirinya melipat lagi undangan yang tidak akan dia hadiri itu. "Happy birthday, I guess," ujarnya, lamely.

Si Biduan terkikik, diikuti oleh dayang-dayangnya. "Ucapinnya nanti, dong, Kak." Balasnya geli, pegangannya terlepas dari lengan Jindra. "There is a surprise for you waiting at the party."

Kerutan di keningnya makin bertambah tanda tak paham, sementara Nadya Hamid dan dayang-dayangnya sudah berbalik pergi, masih cekikikan, meninggalkan Jindra yang terdiam sendirian dengan undangan di tangan.

***

happy sunday! ❤️

kira-kira surprisenya nadya apa ya? 🤔

boleh dong ditebak di comment dan jangan lupa vote juga xx

I Slept With My StepbrotherWhere stories live. Discover now