21. "I'm going to hell anyways, so why not go sooner rather than later?"

2.3K 91 45
                                    


'Kecelakaan di lampu merah sebelum apartemen' adalah jawaban yang Jindra berikan ketika membiarkan Asri membawanya ke rumah sakit. Dia tahu rumah sakit itu pasti salah satu yang dikelola oleh keluarga Hardianta ketika mereka tidak perlu melewati bagian administrasi dan bisa melenggang masuk ke ruangan salah satu dokter untuk diperiksa luka-lukanya. Layaknya pasien VIP atau tamu kehormatan, menjadi Nyonya Hardianta tentu saja akan mendapat pelayanan terbaik. Dan, harus Jindra akui, Asri sangat andal memainkan peran itu.

"Anak ini bandel, Dok, sering ngebut dan nggak lihat-lihat lampu merah." Asri yang berdiri di sisi ranjangnya mengatakannya dengan luwes, senyumnya selalu terlihat hangat seakan menunjukkan dia sama sekali tidak berbahaya. "Tolong sekalian dibuat surat izin untuk sekolahnya, ya."

Dasar wanita licik, pikir Jindra yang sedang diobati luka-luka di badannya oleh perawat yang bertugas. Ibunya bisa tersenyum seperti itu dan mengatakan kebohongan untuknya dengan begitu lancar, padahal di satu sisi Jindra tahu Asri sama sekali tidak memakan omong kosongnya. Lebam di seluruh badan seperti ini bukan pertama kalinya dilihat oleh wanita itu di tubuhnya. Itu jadi membuatnya was-was dan merasa berutang sesuatu pada ibunya. Jindra benci merasa seperti itu.

Dokternya pun sama saja mencurigakannya, hanya tersenyum dan mengangguk tanpa membantah walau luka di badan Jindra menandakan bekas pengeroyokan. Bahkan pria paruh baya dengan kumis tipis itu tidak repot-repot menanyakan identitas Jindra pada Asri.

Seperti sudah ada kesepakatan tanpa kata untuk tidak mengeluarkan tanya atau bantahan pada sang nyonya, keluarga Hardianta itu terkadang memang mengerikan.

Ck, Hardianta.

Jika mengingat lagi bahwa anak dari suami baru ibunya—yang artinya anak tirinya Asri, saudara tirinya—adalah Rosalyn... Jindra merasa kepalanya hampir pecah. Pria yang dia benci karena sudah merenggut ibunya darinya adalah ayah Rosalyn, ini lelucon macam apa?

"Jangan lupa diminum obat-obatnya."

Suara itu mengalihkan gemuruh dalam kepalanya dan membuat Jindra menoleh ke samping, ke arah Asri yang tengah berjalan di sisinya di koridor rumah sakit tepat setelah mengambil obat dari apotek. Asri kelihatan tenang, dari tadi tidak banyak bicara padanya, nyaris penuh karisma tiap kali melewati suster dan dokter yang ada yang menyapanya; Jindra tidak yakin dia akan pernah terbiasa melihat sisi lain ibunya yang seperti ini. Itu hampir terlihat memuakkan bagaimana Asri kelihatan begitu tepat mengenakan dandanan ala sosialita dengan sepatu hak tinggi, terusan putih selutut, cincin bertahtakan berlian di salah satu jarinya, dan wangi parfum mahal.

Wanita di sisinya saat ini bukan ibunya, tidak bisa menjadi ibunya.

Jindra mengangkat dagu. "Saya harus bilang makasih?"

Asri mengeluarkan tawa tipis, antara terhibur atau terluka tidak bisa Jindra bedakan. "Kamu selalu bisa mendatangi Ibu jika ada masalah, itu sudah tugas Ibu untuk menjaga kamu."

Jindra merasa bisa membuat novel tebal hanya untuk menceritakan betapa gagalnya Asri Handayani dalam menjalankan tugas untuk menjaganya, tetapi dia tidak ingin membuang-buang energinya untuk memulai perdebatan yang tidak perlu. Toh, dia yang lebih dulu mendatangi Asri dengan kondisi tubuh ringsek ketika tahu betul yang akan wanita itu lakukan adalah membawanya ke rumah sakit dengan paksaan.

"Dan Ibu senang sekali kamu akhirnya mau ikut makan malam bersama Mas Ginanjar dan Agnes malam ini." Asri melanjutkan, kali ini menoleh ke arah putranya sambil menyunggingkan senyuman yang lebih tulus.

Ah, karena itu wanita ini mengampuninya untuk luka-luka itu dan tidak banyak tanya seperti biasa, karena Asri sebegitu putus asanya menginginkan keluarga normal yang bahagia—semenyedihkan apa pun itu terdengar di telinganya.

I Slept With My StepbrotherWhere stories live. Discover now