27. "Would you now feel like a brother to me, or still someone I want to kiss?"

1.4K 73 12
                                    


"Halo, Kak."

Memangnya cuma Jindra yang bisa memanggilnya 'Dik'? Walaupun kelihatannya memang cuma Jindra yang bisa tetap lempeng-lempeng saja mendengar itu di situasi mereka sekarang. Rosalyn ingin berpikir sekilas mata lelaki itu kelihatan terluka, seakan ia tengah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakan, tapi jika memang demikian maka pasti tidak sesakit ia sendiri yang merasa. Sebab pandangan itu berlalu lebih cepat daripada yang ia inginkan.

"Cepet juga lo adaptasinya," kata Jindra. Laki-laki itu melambatkan langkah supaya Rosalyn bisa berjalan di sebelahnya di lorong menuju loker.

"Jangan khawatir, gue mencoba." Meskipun rasanya seperti dengan sukarela dijadikan sasaran hantam bola tenis.

"Bagus, lo butuh latihan."

"Now you sound like a complete jerk."

"And you should not be surprised."

Ha. Rosalyn mengerling Jindra. "Mau pulang? Atau mau nyari luka tambahan?"

"Ck, perhatian banget, Dik."

"Would you stop calling me that?"

"Tadi kan lo nyapa duluan?"

"Only because you started it way, way earlier than me."

Suara kekehan tawa lolos dari Jindra. Ia pasti hanya membayangkannya juga, bagaimana tawa itu tidak terdengar mengejek tapi lebih ke arah pahit. Rosalyn mendadak merasa ingin meraih tangan Jindra dan mengajaknya lari, ke tempat lain, ke kota lain, entah ke mana. Meskipun itu mungkin tidak akan berarti banyak. "Bawel banget buset. Ya, mau pulang, kenapa?"

"Mau nebeng."

Jindra meliriknya. "Gue nggak bilang mau pulang ke apartemen."

Mereka sudah tiba di loker, dan bukannya ke lokernya sendiri, Rosalyn menemukan dirinya masih mengimbangi langkah Jindra ke loker sang pemuda. "Berarti ke tempat lo kabur selama tiga hari kemarin?"

"Berhenti main tebak-tebakan."

"Tapi tebak-tebakan gue benar?"

Lelaki itu membuka pintu loker lebih keras dibanding yang seharusnya, tidak menatapnya. "Lo mau denger gue jawab apa?"

Apa pun, pikirnya, yang bisa menguak lelaki ini penuh-penuh, membukanya seluruhnya untuk Rosalyn. Ia ingin tahu dari mana luka-luka yang diobatinya itu berasal; ingin tahu mengapa Jindra bahkan harus mendapatkan mereka di kali pertama dan tidak banyak mengeluh soal itu. Dan kalau kau tanya Rosalyn lebih jauh, ia ingin Jindra berhenti mendapatkan mereka. Tsk, bahkan rasanya nyeri hanya dengan melihatnya, bisa-bisanya lelaki ini membuatnya berpikir dia memang akan mendatangi tempatnya mendapatkan luka lagi? "Yang sebenarnya," jawab Rosalyn.

"Kenapa harus?"

Karena Rosalyn tidak ingin Jindra terluka. Karena Rosalyn ikut sakit melihatnya. Karena ia peduli. Karena semuanya. Gadis itu menyandarkan pinggul di loker sebelah, menatap Jindra. "Karena gue adik lo."

Lisan, kepala, dan perasaannya sering berkhianat di saat-saat paling penting; seakan mereka berusaha keras saling mensabotase satu sama lain untuk melihat siapa yang menang. Kemenangan itu teraih ketika salah satu aspek begitu kewalahan, dan kini perasaannya seperti diremukkan oleh apa yang ia ucapkan—karena gue adik lo—dan yang ia pikirkan—gue adik lo, gue berhak tanya. Ia pikir jika Jindra bisa memanggilnya Dik seperti saat itu, maka ia juga bisa mengatakannya. Ia hanya baru tahu bahwa rasanya akan seperti ini, seperti seseorang menusuk-nusuk hatinya sembari tertawa.

"Kalau gitu dengar ini baik-baik." Jindra menutup lokernya dan mencondongkan tubuh ke arah Rosalyn. Terlalu terkejut untuk bereaksi, Rosalyn hanya bisa mematung saat bahu lelaki itu memenuhi jarak pandangnya selagi Jindra berbisik di telinganya. "Jangan banyak tanya-tanya, kakak lo nggak suka."

"Dan gue harus nurut, karena lo kakak gue?"

Ia melihat wajah Jindra sekarang, dalam jarak yang membuat Rosalyn harus mati-matian menahan diri untuk tidak berjinjit dan membuat tiga kali ciuman menjadi empat. "Bisa dengan alasan apa lagi, memang?"

Oh, punya perasaan itu seratus persen tidak ia rekomendasikan.

Rosalyn mengulurkan tangan dan mendorong bahu Jindra. "Bisa-bisanya." Sengotot itu mau kita benaran sebagai kakak dan adik. Padahal Rosalyn sendiri masih ingin mengetes hal-hal. Selain dendam dan rasa sakit, sekarang ia tengah mempelajari seni merawat penyangkalan. Untuk menerima seluruh kenyataannya sekarang, dan memanggil Jindra dengan sebutan 'kakak' dengan tulus alih-alih melampiaskan kemarahan, masih sangat sulit ia lakukan. "Lo diundang ke pestanya Nadya?"

Jindra menarik diri. "Iya."

"Mau datang sama siapa?"

"Gue bahkan nggak mau datang."

"Gimana kalau gue mau datang sama lo?"

Jindra kelihatan hendak menyemburnya dengan sebaris tanda tanya dan Rosalyn sudah mempersiapkan diri untuk membalasnya dengan semua yang ia bisa agar lelaki ini mengiyakan. Ia masih bertahan dengan pendapatnya bahwa malam Minggu sebaiknya dihabiskan di tempat yang tidak mengikis sumbu emosi atau usiamu—pesta ulang tahun seseorang yang terikat dalam kemuakan yang bertimbal balik denganmu, contohnya—tapi ia juga berpendapat bahwa pesta ulang tahun Nadya adalah momen yang tidak akan muncul dua kali. Rosalyn jelas tidak punya waktu menunggu sampai tahun depan untuk mengetes hal-hal. Pesta ulang tahun yang diselenggarakan Nadya yang memperlakukan Jindra dengan berbeda dari murid-murid lelaki Rajendra lainnya plus tidak mengundang Rosalyn ke acara yang sama terdengar seperti tempat yang bagus untuk memulai.

Would you now feel like a brother to me, or still someone I want to kiss?

Rasanya lama sekali hingga ia mendengar Jindra menghela napas dan mengiyakannya.

***

kakak adek ada yang mau dateng bareng nih, bakal kayak gimana pesta ultahnya nadya nanti?

comment dan vote yang banyak ya biar kami semangat update✨

I Slept With My StepbrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang