1. "Lo beneran jatoh atau cuma pengen meluk gue?"

9.9K 150 0
                                    

"SIALAN."

Itu adalah respon otomatisnya ketika matanya membuka dan hal pertama yang Jindra lihat adalah jam weker di samping kiri tempat tidur sudah menunjuk pukul tujuh pagi. Lewat dua puluh menit. Bel masuk sekolah berbunyi sepuluh menit lagi dan kepalanya masih menempel di bantal, padahal ini hari pertamanya di tahun ajaran baru sebagai siswa tahun terakhir.

Mampus.

Refleknya di lapangan bekerja dalam hitungan sekon mengikuti pergerakan bola, tapi kini untuk bergegas bangkit dari tempat tidur untuk bersiap pun dia masih enggan. Tapi setelah perdebatan batin antara 'lebih baik sekalian bolos saja dan baru masuk pas latihan sore' versus 'masuk saja daripada nanti dapat SP' yang memakan waktu kurang lebih dua menit, sambil mengerang akhirnya laki-laki bongsor dengan tinggi badan yang terakhir diukur mencapai seratus delapan puluh delapan senti itu bangun juga.

Oh, ya, sudah pukul tujuh lewat dua puluh dua.

Jindra keluar dari kamar mandi dengan keadaan sudah lebih segar pada pukul tujuh lewat dua puluh tujuh. Setelah selesai mengancing pakaian seragam teratasnya—kancing seragam teratas bagi Jindra artinya dua kancing di bawah yang paling atas—dia langsung mengambil tas sekolahnya yang berada di pojok ruangan. Ketika dia melirik jam tangannya lagi sebelum membuka pintu keluar, sekarang sudah berlalu tiga menit.

Shit, sudah terlambat betulan kalau begini!

Bel tanda masuk berbunyi tepat pukul setengah delapan tiap paginya di Rajendra International School, dan jam pertama akan diawali dengan lima belas menit jam Homeroom dari wali kelas. Itu membosankan dan sebenarnya tidak penting-penting amat, tapi sudah dari semester kemarin dia kena tegur wali kelas karena sering mangkir dari Homeroom yang berujung dapat omelan sejenis: "Mau saya laporkan ke Mr. Mochtar agar kamu dicabut dari tim inti Chevaliers jika masih sering bolos?"

Yeah, lupakan saja, catatan kehadirannya di kelas sama pentingnya dengan presensi latihan tiap sore. Dan mau tidak mau Jindra harus tunduk pada peraturan sekolah jika masih ingin berseragam Chevaliers.

Ini sudah tahun ketiganya tinggal di apartemen elit daerah Kemang ini dan Jindra tidak pernah tahu apa ada larangan berlari-lari di koridor atau tidak. Mari kita cari tahu, karena itu yang kini sedang dia lakukan; berlari seakan dia sedang berada di atas lapangan menuju lift yang pintunya hendak menutup.

"Oi, tahan liftnya!"

Pintu itu untungnya tertahan sebelum nyaris tertutup, tapi samar-samar juga terdengar suara yang menyahut dari dalam lift, "Buruan. Aku sudah telat. Jangan lamban."

Jindra mengerem larinya tepat di hadapan lift yang pintunya masih terbuka, dan sebagai balasan dia memberi pandangan 'udah cukup cepat buat lo?' dengan alis terangkat dan wajah sengaknya yang biasa pada sosok di dalam lift.

Catatan lari seratus meternya terakhir kali diukur berada di bawah sebelas detik, lamban tidak pernah ada dalam kamusnya.

Jindra langsung masuk tanpa banyak bicara ke dalam lift yang isinya kini hanya mereka berdua.

Laki-laki yang tahun depan genap berusia delapan belas tahun ini mungkin jarang memedulikan sekitar, tapi ingatannya bagus menyangkut detail terkecil yang dia anggap janggal. Sosok yang berada dalam lift yang sama dengannya ini, seorang gadis dengan seragam putih yang kelihatan familier, Jindra yakin dia belum pernah melihatnya di lantai ini. Dia pikir yang seusia anak sekolahan di lantainya hanya dirinya, lalu sekarang dia satu lift dengan gadis berseragam sekolah yang sepertinya seragam sejenis itu pernah dia lihat di suatu tempat—ah!

Itu seragam perempuannya Rajendra, kan?

Jindra tidak merasa butuh pembelaan apa pun sebagai argumen kenapa untuk menyadari seragam sekolah sendiri saja dia butuh waktu lama, sederhananya hanya karena dia jarang memperhatikan murid-murid perempuan Rajendra. Barisan tuan putri yang tiap harinya diantar jemput sopir cuma membuat matanya sakit. Tapi kini dia bersandar di sisi lift yang berseberangan dengan gadis itu, menciptakan jarak maksimal untuk mereka berdua, dan melakukan analisis sekilas dari ujung kepala sampai ujung kaki.

I Slept With My StepbrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang