23. "Ini mengubah semuanya."

1.5K 86 55
                                    


Jindra masuk ke dalam kamar mandi, menutup pintu di belakangnya.

Rosalyn tidak perlu bertanya kenapa pemuda itu ada di sini sekarang, tapi tetap saja—ia ingin mendengar sesuatu. "Makan malamnya udah selesai?"

"Belom lah."

"Terus ngapain lo di sini?"

Jindra memutar mata. "Ya menurut lo aja."

Jindra berjalan ke depan wastafel, berhenti di sebelah Rosalyn, dan menatap gadis itu yang balas memandangnya. Sepanjang hidangan pembuka disajikan tadi tidak ada yang cukup kuat untuk mengangkat sendok kecuali Ginanjar Hardianta—ketidaktahuan suami baru ibunya itu membuatnya muak dan masih ingin menghancurkan sesuatu. Gadis yang duduk di sebelahnya tidak sekalipun menoleh ke arahnya sementara itu, selagi Rosalyn marah pada ayahnya dan Jindra merasa kepalanya bisa pecah sewaktu-waktu di kursi sebelahnya. Mereka sama-sama berakhir di tempat ini, dia tidak heran. Karena dia kenal siksaan, dan lantas dia kenal 'makan malam bersama gadis yang ingin kautiduri dan ternyata adik tirimu.'

Rosalyn masih menatapnya dengan mulut yang secara keras kepala terkunci, seakan ia menolak jadi orang pertama yang bicara di antara mereka. Jindra mendengus. Dasar merepotkan. Dia berbalik badan dan menyandar di wastafel, tidak yakin ingin melihat pantulan bayangan Rosalyn juga di kaca wastafel saat gadis itu masih menatapnya saat ini.

"Kalau nggak buruan balik, lo bakal dicariin."

"Lo kemari untuk menjemput gue?"

"Nggak usah kepedean."

"Oh, jadi lo nggak kemari karena ibu—" —Karena ibu lo menyuruh, itu kalimat lengkapnya, tapi Rosalyn tidak bisa mengatakannya. Bagaimana bisa tadi pagi mereka masih ada di balik selimut yang sama, dan sekarang keduanya dengan setelan formal didudukkan bersebelahan untuk makan malam oleh orang tua mereka? Gadis itu tertawa. "Gue bahkan sampai nggak bisa lanjut mengatakan itu."

"Lo nggak ada masalah mengatakan itu tadi."

"Hanya karena lo sendiri nggak bilang apa-apa."

Giliran Jindra yang tertawa. Sama seperti tawa Rosalyn, tawa itu pun terdengar pahit dan mengejek; meski entah ditujukan pada siapa. "Lo mau gue bilang apa? Tadi pagi gue masih di kamar lo? Tadi pagi lo masih nyium gue? Kemarin-kemarin gue masih nyium lo?"

Rosalyn terdiam, tidak memiliki jawaban atas itu semua. Ia pikir selera humornya sudah sakit, tapi ternyata dunia punya selera humor yang lebih sakit lagi. Dunia, atau ayahnya dan ibu Jindra? Rosalyn mendadak merasa begitu marah lagi. Tangan kanannya secara kasar berusaha melepas jam tangan yang ia kenakan. "Sejak kapan lo tahu bahwa kita saudara?"

"Sejak di apartemen lo dan gue lihat foto itu." Foto terkutuk itu. Tidak cukup wajah Ginanjar Hardianta nampang di mana-mana dan selalu dibahas ibunya dengan penuh suka cita setiap kali ada kesempatan, tadi pagi dia mendapati wajah yang sama di nakas sebelah ranjang tempatnya tidur semalaman. Berengsek. Kenapa semalam lampu kamar Rosalyn tidak menyala?

Jam tangannya masih belum mau lepas; ia mendadak kesulitan menarik kaitnya. Jemarinya gemetaran, Rosalyn sadar. Beberapa kukunya menancap ke pergelangan tangan, bukannya mempermudah kait supaya lepas. "Kenapa lo nggak langsung bilang saat itu?"

"Ya nggak nyangka juga!" Kening Jindra berkerut, apa gadis ini sedang menyalahkannya? Rosalyn kelihatan kesusahan melepas jam yang melingkar di pergelangan kirinya. Jindra meraih tangan kiri sang gadis dan melepaskan kait itu dengan mudah. "Gue tahunya nama anak itu Agnes, nama lo kan bukan Agnes?!"

"Itu nama Baptis?!" Rosalyn menyentakkan pergelangan kirinya supaya lepas dari tangan Jindra. Jam tangannya jatuh, tergeletak di atas lantai kamar mandi yang mengilap. "Papa biasanya pakai itu buat manggil gue. Hanya dia."

Lihat apa yang bisa diperbuat sebuah nama. Sebelum hari ini, Rosalyn selalu suka dengan nama depannya itu. Ayahnya yang lebih sering memanggilnya dengan nama itu. Kebalikannya, ibunya hampir-hampir tak pernah memanggilnya dengan Agnes seakan menyadari dan menegaskan sesuatu, jadi Rosalyn menyimpan nama itu untuk Ginanjar belaka. Bahkan di nametag seragamnya pun tidak ia cantumkan nama Agnes-nya. Ia pikir itu nama yang akan selalu hanya dimiliki oleh ayahnya karena ia akan selalu pula jadi anak perempuan satu-satunya Ginanjar Hardianta; tuan putri ayahnya. Namun nama yang sama hari ini juga ingin dilepasnya, seperti Jindra melepas jam tangannya tadi.

Rosalyn merendahkan tubuh guna mengambil jam tangannya, tapi Jindra mendahuluinya. Dia meletakkan jam tangan itu di telapak tangan Rosalyn.

Rosalyn menahan jemari Jindra sebelum cowok itu melepaskan diri, jam tangan itu kini berada di dalam genggaman tangan mereka. "Apa ini akan mengubah sesuatu di antara kita?" Dia tidak tahu sesuatu apa tepatnya yang dia bicarakan, dia hanya ingin tahu di mana posisi mereka, posisinya, setelah informasi ini dijatuhkan.

Jindra memandangnya dengan sorot tak terbaca, lalu dia menarik tangannya hingga pegangan mereka terlepas. "Ini mengubah semuanya." Desisnya, lalu punggungnya berbalik menuju pintu keluar.

***

short update, but the next part will be longer promise!😚

yuk ikutan potek bareng Rosalyn dengan comment dan votes yang banyak biar kami lebih cepat update

I Slept With My StepbrotherWhere stories live. Discover now