8. "Lalu kapan? Dua belas tahun lagi?"

2.1K 86 0
                                    


SAMPAI usia lima tahun ia tinggal di rumah ini. Namun, Rosalyn nyaris tidak bisa mengenalinya lagi sekarang. Tetap ada dua lantai, tapi bangunannya kini lebih panjang dan luas. Garasinya bertambah satu. Dulu seingatnya fasad rumah menawarkan garis-garis tegas deretan pintu dan jendela belaka, tapi kini halamannya dipenuhi dengan pot-pot bunga yang beragam. Bahkan seekor burung mungil dalam sangkar pun bisa ditemukan. Ketika ia datang setengah jam yang lalu burung itu berkicau riang mengiringi langkahnya masuk ke dalam. Lupakan soal furnitur minimalis dengan satu atau dua sentuhan antik yang mengejutkan seperti chandelier dan deretan warna-warna berat. Yang ditemukannya di dalam rumah adalah warna-warna hangat dan ceria dalam kombinasi yang pas: cokelat dan peach dan hijau, off-white sebagai dasar, di kesempatan lain hitam sebagai aksen. Beberapa perabotannya tampak dibuat dengan tangan. Sofa utamanya berlapis kain batik; memadukan kesan elegan dan homey sekaligus.

Tidak ada satu pun lukisan tergantung yang ia kenal.

Berdiri di depan salah satu bingkai di dekat ruang makan setelah memutari seluruh isi rumah, Rosalyn bisa merasakan perasaan familier itu lagi; yang selalu singgah manakala ia berpikir mengenai hidupnya di Jakarta yang ia tinggalkan. Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan dengan rambut disanggul rendah di tengkuk dan kebaya berwarna kuning gading pucat. Seorang anak digendong di punggung perempuan itu, sementara si perempuan sendiri menghitung uang di hadapan sekian banyak bumbu tersebar. Itu penggambaran sebuah scene dalam pasar tradisional. Langit dalam lukisan sebersih langit pagi ini; biru muda tanpa awan. Rosalyn tidak mengenali inisial pelukis yang ada di sudut lukisan.

Ibunya tidak akan mendekorasi rumah dengan cara ini. Tidak akan pula memilih lukisan ini untuk digantung di dekat ruang makan. Ia ingin berkata bahwa selera rumah ini tacky bila disandingkan dengan penthouse yang ditinggali olehnya dan Isabel; yang lukisan dan potret-potretnya diganti setiap tiga bulan sekali dan karpet mengalasi lantainya. Tetapi bahkan gadis itu tidak bisa menipu diri bahwa rumah ini terasa lebih tidak dingin ketimbang penthouse-nya. Seakan menjanjikan hari-hari penuh harapan dan tawa.

Dan itu membuatnya merasa sakit.

Bila ia yang sudah bertekad untuk tidak lagi menyukai rumah ini sebagaimana ia tidak menyukai istri baru ayahnya yang pastilah sudah menata rumah ini hampir kerasan seketika, bagaimana dengan ayahnya? Dan apa artinya itu mengenai hubungan ayahnya dengan ibunya dulu? Sesuatu yang sangat dingin dibandingkan yang sekarang? Bahwa pertengkaran-pertengkaran yang masih segar dalam ingatannya memang salah ibunya sebab tidak bisa menjadi rumah yang tepat untuk ayahnya—sebagaimana yang selalu ia dengar dari ibunya sebagai alasan keluarga besar Hardianta tidak mencegah perceraian mereka?

Rosalyn mengulurkan tangan, menyentuh luksan seorang di hadapannya. Isabel tidak pernah menggendongnya dengan cara ini, dalam ingatan-ingatannya yang paling awal. Selalu ada stroller, dan ia ragu ibunya pernah pergi ke pasar tradisional seperti ini.

Seseorang menyentuh bahunya dengan hati-hati. "Suka dengan lukisannya, Sayang?"

"Bukan seleraku."

"Ah... Ibu tidak tahu banyak soal lukisan, tapi Ibu suka yang ini."

Ibu. Perempuan ini menyebut dirinya sendiri padanya dengan Ibu. "Memilih ini sendiri?"

"Iya. Mas Ginanjar," terdiam sejenak, "papa kamu juga menyukainya."

Kemudian perempuan ini dengan mudah menempatkan mereka bertiga—Rosalyn, ayahnya, dan diri sendiri—seakan mereka keluarga normal. "Papa tidak pernah punya selera yang terlalu bagus menyangkut lukisan. Dulu, Mama memilihkannya segala lukisan terbaik. Dari dalam ataupun luar negeri. Lewat teman-teman Mama."

I Slept With My StepbrotherWhere stories live. Discover now