Sebelum

2.3K 197 61
                                    

Hari Jumat.

Tak terasa, jatah waktu bekerjaku untuk kafe ini telah berakhir.

Seminggu ini, terlalu menyenangkan. Aku pasti akan merindukan bekerja di kafe ini.

Daren sangat baik karena masih memperbolehkanku untuk bekerja disini seminggu penuh. Walaupun, sebagai gantinya, aku harus melayaninya saat di rumah.

Sekarang, aku sedang berpelukan dengan Sandra di ruang ganti sambil menangis. Walaupun tidak sampai 3 bulan bekerja disini, tetapi aku dan Sandra menjadi sangat dekat.

"Pokoknya walaupun lo gak kerja disini lagi, kita harus sering komunikasi! Jangan segan untuk cerita apapun sama gua ya, Sa," ujar Sandra dengan air mata yang mengalir.

Aku mengangguk antusias, "Pasti! Kalo lo ada waktu kosong, kabarin gua. Biar kita bisa main!" Ujarku.

Sebelum menangis berdua bersama Sandra, aku sudah terlebih dahulu berpamitan dengan semua pegawai di kafe ini.

Seperti Andre, coffee-maker, Mbak Renata, kasir full-time disini, Devi dan Liani, pelayan disini. Mereka semua sangat baik! Bekerja dengan mereka sangat menyenangkan!

Walaupun begitu, mereka tetap kepo dengan menanyakan insiden Daren dan Hans beberapa waktu yang lalu.

Aku tidak menjelaskan secara detail, hanya memberitau mereka bahwa Daren adalah suamiku dan sedang ada masalah dengan Hans.

Apakah mereka terkejut? Tentu saja! Tidak ada satu dari mereka yang menyangka bahwa aku sudah menikah.

Pelukanku dan Sandra terlepas karena aku harus pamit juga dengan Kak Tahta.

"Gua pamit dulu sama Kak Tahta ya, nanti kita pulang bareng," pamitku dengan Sandra yang menanggapi dengan memberikan jempolnya.

Aku berjalan ke arah ruangan Kak Tahta yang berada di lantai 2.

Kuketuk pintunya sebelum masuk dan setelah itu, aku membuka pintunya dan...

Hans.

Hans ada di dalam sana, sedang duduk di ruangan Kak Tahta.

"Oh.. pantes Tahta nyuruh gua buat gak ke kafe dulu selama seminggu. Katanya ada yang harus gua urus di luar. Ternyata, karena lo balik kerja ya?" Kata Hans sambil menatapku dengan senyuman seramnya.

Tanganku gemetar, badanku langsung terdiam.

"Lo kenapa gak bales telfon atau chat gua? Gak boleh sama Daren?" Tanya Hans lalu berjalan mendekat ke arahku.

Aku yang ketakutan langsung berniat untuk menutup pintu tersebut sampai suara Hans membuatku mengurungkan niat.

"Lo yakin, Daren sayang sama lo?" Tanya Hans sarkas.

Yakin, jawabku dalam hati. Semua perlakuan Daren kepadaku memang membuatku yakin walaupun aku masih sering denial.

"Lo percuma takut sama gua. Karena, Daren juga sama brengseknya dari gua. Bedanya, gua ngakuin kalo gua emang brengsek. Daren, suami lo itu, bertingkah sok suci," kata-kata yang keluar dari mulut Hans menyulut emosiku.

Entah keberanian dari mana, aku malah masuk ke dalam ruangan itu dan menatap matanya.

"Lo tau apa soal Daren? Jangan ngomong hal buruk tentang dia kalo lo juga sama brengseknya. Lo bahkan gangguin gua, yang jelas-jelas udah jadi istrinya Daren," sentakku.

Pertama kalinya dalam hidupku, aku berani melawan perkataan seseorang.

Bisa kulihat, Hans tersenyum mengejekku.

Married by Accident ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang