Perfect Romance [1]

17.5K 1.2K 128
                                    

[Enam Bab Terakhir]

Catatan :
Setelah naskah lengkap kuunggah, lima bab setelah bagian ini akan segera kuhapus. Mungkin hanya bisa dibaca maksimal satu bulan.
Alasannya? Karena naskah akan terbit walau aku belum tau tanggal pastinya.
Semoga bisa dimengerti.
Terima kasih.

Mama menelepon pukul tujuh pagi, menanyakan kesediaanku untuk makan siang dengannya. Kali ini, Simon tidak akan bergabung karena masih berada di Lombok. Aku langsung menyanggupi karena memang tidak memiliki kesibukan khusus.

"Kamu nggak apa-apa kalau aku makan siang bareng Mama, kan? Ke dokternya jam berapa, sih?" tanyaku kepada Kimi begitu dia tiba di butik. Aku sedang merapikan gantungan berisi pakaian, sementara Dinda membersihkan kaca. Efri? Perempuan itu sibuk mengganti pakaian-pakaian di maneken.

"Ke dokternya jam tujuh, Lea. Setelah butik tutup." Kimi menaruh tasnya di laci khusus. Dia juga mengeluarkan laptop dari laci meja kerja dan menyalakan benda itu.

"Rencana rapat besok...."

Kimi memotong hingga kalimatku terpatahkan begitu saja. "Aku tetap ikut rapat. Nggak ada yang berubah kecuali memang lagi ngerasain kontraksi atau udah lahiran." Dia menatapku kesal. "Aku cuma hamil tua, Lea. Ntar deh kalau kamu hamil dan orang-orang sekeliling memperlakukanmu kayak balita, baru deh tau apa yg kurasain."

Aku tersenyum lebar sebelum kembali melanjutkan pekerjaan. Kali ini, aku tak menjawab kalimat Kimi. Besok aku dan Kimi akan mengadakan rapat rutin dengan para desainer Special One. Kami mempekerjakan tiga orang desainer lepas yang bekerja dari rumah. Agenda rapat nanti adalah membahas tentang rencana rancangan yang akan dikeluarkan untuk enam bulan mendatang.

Special One mengeluarkan koleksi terbaru setiap bulan. Biasanya, koleksi tersebut sudah disiapkan minimal tiga bulan sebelumnya. Namun baru dijual di toko sesuai jadwal rilis. Akan tetapi, pembeli bisa mendapatkan koleksi terbaru dua minggu lebih cepat jika memesan secara online.

Special One memang bukan merek terkenal. Belum. Namun, aku dan Kimi berusaha semaksimal mungkin menghasilkan produk yang bermutu dengan harga terjangkau. Juga desain yang unik dan tidak pasaran. Desain yang dipikirkan matang-matang.

"Lea, makan siangnya bareng Simon, nggak?" tanya Kimi tiba-tiba.

"Nggak. Cuma sama mamaku doang. Mau ikut?"

"Nggak ah, aku lebih suka makan masakannya Edgar," balasnya santai. "Aku mau nanya dari kapan tau, tapi lupa melulu. Kenapa kamu nggak pernah minta dikenalin sama cowok bule? Siapa tau Simon punya kenalan yang oke. Bertato dan beranting, kayaknya keren juga."

Aku nyaris merinding membayangkan seorang pria bertato dan beranting. "Selera Mama dan aku kan beda, Kim."

"Eh iya, hampir lupa. Kamu kan demennya yang berkacamata," goda Kimi usil. "Kira-kira apa menu makan siang kita hari ini, ya? Punya tebakan tertentu, Lea?"

"Nggak," kataku cepat.

Aku meneruskan pekerjaanku hingga selesai. Ketika toko akhirnya dibuka, semua sudah rapi dan siap menyambut pelanggan. Namun, pagi itu tak sepenuhnya mulus karena Efri berkali-kali ke kamar mandi.

"Kamu kenapa, Fri? Sakit perut?" tanya Kimi cemas.

"He-eh. Dari tadi pagi udah lima kali buang air." Efri mengelus perutnya. Wajah gadis itu tampak pucat.

"Ke dokter, gih! Jangan sampai nantinya malah tambah parah," usulku. Aku mendekat ke arah Efri yang sedang berdiri dengan bahu bersandar ke dinding. "Mual, nggak?" Tangan kananku menyentuh keningnya. Suhunya normal.

"Nggak, cuma sakit perut doang." Efri mengusap lehernya. "Nggak usah ke dokter, aku mau minum obat aja. Bentar lagi pasti sembuh."

"Dokternya cuma berjarak dua puluh meteran, Fri. Mending ke sana ketimbang ntar kenapa-napa," sergah Kimi dengan nada menolak bantahan.

"Aku setuju sama Kimi. Kamu harus ke dokter sekarang juga. Setelah itu, istirahat aja di kamar. Nggak usah kerja hari ini."

"Tapi...."

"Nggak pakai tapi-tapian. Aku nggak mau kamu malah terpaksa harus diopname gara-gara sakit perut yang nggak segera diobatin," imbuhku.

Efri akhirnya menurut, pergi ke tempat praktik dokter 24 jam yang cukup dekat dari butik. Setelah Efri meninggalkan Special One, dua orang perempuan bergabung di ruang pamer butik. Satunya berkaus kuning sementara yang seorang lagi mengenakan kemeja biru. Karena Dinda sedang melayani pembeli dan Efri sedang ke dokter, aku yang maju untuk menyapa. Sapaanku dibalas dengan jawaban yang tak kalah ramah.

Perempuan berkaus kuning langsung mendekati salah satu deretan baju yang tertata di gantungan besi dan mulai melihat-lihat. Sementara temannya malah mengobrol denganku, mengajukan banyak pertanyaan tentang Special One.

"Kamu hebat, masih semuda ini udah punya bisnis sendiri. Konsepnya pun bagus banget. Special One ini butik yang unik dan istimewa," pujinya setelah tahu bahwa aku bukan karyawati Special One.

"Makasih, Mbak," kataku sopan. "Kami cuma ingin pelanggan butik merasa istimewa. Special One cuma berusaha ngasih yang terbaik."

"Mbak yang lagi hamil itu juga kerja di sini?" tunjuknya sekilas dengan dagu ke arah Kimi yang sedang berkonsentrasi pada laptop.

"Kimi? Dia dan saya yang punya Special One."

"Oh, jadi ini usaha patungan, ya? Udah berapa lama?"

"Sekitar dua setengah tahun."

Si kemeja biru menunjuk ke arah blus yang kukenakan, atasan berwarna baby pink dengan kerah model kemeja. Tidak ada aksen mencolok kecuali dua buah zipper sejajar di bagian bawah blus. Zipper itu bisa dibuka hingga di bawah dada.

"Ada warna lain, nggak? Saya suka ungu."

"Ini produk lama, Mbak. Kami nggak pernah restock. Udah habis sejak dua bulan lalu." Aku bergerak ke arah salah satu maneken. "Blus ini memang nggak sama persis, tapi aksen zipper-nya cukup mirip. Cuma, yang ini adanya di samping kanan dan kiri. Juga lehernya yang berbentuk choker."

Perempuan itu mengamati blus yang terpasang di maneken dengan antusias. Setelahnya, dia meminta blus bermodel sama untuk dicoba. Lalu, perhatiannya tertuju pada sebuah terusan selutut berwarna merah apel. Dia sempat mencoba beberapa pakaian, begitu juga dengan temannya. Ketika kedua perempuan itu meninggalkan butik, tidak ada yang mereka beli.

Aku kembali ke meja kerja karena Kimi memanggil. Dia sedang duduk di kursi beroda seraya menghadap laptop. Sementara itu, Efri juga sudah kembali dan hanya bergumam tentang "salah makan" saat ditanya tentang diagnosis dokter. Kimi tetap memaksa Efri untuk beristirahat di lantai dua. Efri yang awalnya menolak, akhirnya terpaksa menyerah.

"Aku kok kayaknya pernah ngeliat perempuan yang pakai kemeja tadi, cuma nggak ingat di mana."

"Mungkin wajahnya memang pasaran," kataku sekenanya. Aku ikut menatap ke arah laptop. "Kenapa kamu manggil aku?"

"Ini, koleksi baru kita laku keras, nih. Sepagian ini aja aku udah terima tiga pesanan. Belum lagi yang kemarin-kemarin. Padahal belum dipajang di sini." Telunjuk kanan Kimi terarah ke sebuah foto. Blus berleher sabrina dengan bagian bawah berbentuk asimetris itu memang cantik. Ada semacam bros berbentuk mawar yang tersemat di bagian dada.

"Modelnya memang cakep, Kim. Makasih karena idenya dari kamu. Kurasa, kamu perlu juga mulai bikin desain secara serius. Ada bakat, lho!"

Kimi mengecimus. "Tumben muji, bikin aku curiga. Bilang aja supaya bisa menghemat pengeluaran untuk bayar desainer."

"Iya, itu juga, sih," kataku sambil tertawa.

Dinda menyela saat menyerahkan tiga helai pakaian yang sudah dipilih oleh pengunjung butik. Aku bergegas menuju mesin kasir yang letaknya tak jauh dari meja kerja. Dalam waktu tak sampai lima menit, transaksi pun sudah selesai. Saat itu aku tiba-tiba terpikirkan sesuatu.

Lagu : Perfect (Ed Sheeran)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang