Fixing a Broken Heart [1]

7.4K 1K 10
                                    

Aku membuka babak baru dalam hidupku. Bukan dalam arti yang positif. Melainkan dalam makna yang mengerikan. Aku melupakan siapa aku yang lama. Aku menciptakan Leala yang baru.

Semua kekecewaan bertaut jadi satu. Mirip benang halus yang dijahit di setiap pori-pori tubuhku. Ada terlalu banyak hal pahit yang mengejutkan terjadi. Sebelum ini, hidupku baik-baik saja. Lalu mendadak langkahku dihentikan oleh serentetan persoalan yang mengguncang dunia polosku. Hingga aku tahu bahwa Leala yang lama dipaksa mati oleh kenyataan yang membantaiku.

Salah satu kekecewaanku adalah karena kakak-kakakku pada akhirnya tidak berbuat apa-apa. Mas Troy memang pulang ke Bogor untuk bicara dengan kedua orangtua kami. Tapi ujung-ujungnya dia malah memintaku untuk ikhlas menerima keputusan Mama dan Papa untuk bercerai. Aku juga dilarang mengungkit-ungkit tentang aktivitas menjijikkan yang dilakukan oleh orangtuaku.

Mbak Ilsa hanya bisa menangis dan memaki tidak sopan di telepon. Dia sama sekali tidak punya waktu untuk kembali ke Bogor meski cuma sebentar. Alhasil, aku si bungsu yang harus bersemuka dengan kerumitan keluargaku. Aku merasa sesak berada di rumahku sendiri.

Pada akhirnya, aku tak kuasa menahan diri lagi. Langkah paling drastis yang kupilih adalah keluar dari rumah. Aku lebih memilih indekos ketimbang serumah dengan Mama dan bersikap munafik sepanjang hari. Aku sudah tidak sanggup lagi melihat wajah orangtuaku tanpa rasa mual yang memilin perutku. Kali ini, aku tidak bisa menampik keinginan Kimi untuk menemaniku. Dia ikut indekos bersamaku!

"Aku nggak akan biarin kamu tinggal sendiri. Lagian, aku kurang bebas kalau tinggal di rumah. Aku dan Ravel agak sulit ketemuan kalau aku udah ada di rumah." Itu salah satu alasan Kimi.

Aku mengirim nomor rekening pada Papa dan Mama, meminta mereka mengirimkan biaya untukku. Mulai dari biaya kuliah, kos, hingga biaya hidup. Aku tidak mungkin membiayai semuanya sendiri karena aku belum bekerja.

"Kamu nggak boleh keluar dari rumah ini!" bentak Mama ketus saat aku memberi tahu niatku untuk indekos.

"Aku udah nggak mau tinggal di sini," akuku jujur.

"Kenapa kamu mau pindah dan malah memilih untuk kos?" Mama malah menatapku dengan keheranan yang membuatku terperangah.

Aku tidak ingin bersikap kasar, sayangnya Mama seakan tidak mengerti. "Aku muak, nggak sanggup lagi ngeliat Mama ataupun Papa tanpa merasa marah."

"Bukan Mama yang mulai! Papamu yang duluan gonta-ganti kekasih dan sama sekali nggak malu kalau pacarnya bahkan lebih muda dari anak sulungnya!"

Aku menatap Mama dengan tatapan nanar. Aku tidak tahu Mama bisa seperti ini. Di bawah wajah cantiknya, Mama ternyata perempuan egois yang tidak merasa pernah berbuat kesalahan.

"Ma, udah deh! Nggak ada gunanya cuma nyalahin Papa doang," balasku dengan suara lelah. "Menurutku, Papa dan Mama sama salahnya." Aku berusaha keras menelan kata-kata lanjutan yang nyaris terlontar. Kuhela napas panjang seraya berujar dengan nada final, "Aku merasa pindah dari sini jauh lebih sehat."

Mata Mama menyala. Pasti karena menganggap ucapanku luar biasa kurang ajar. Aku tidak peduli.

"Ini rumahmu, Lea! Kamu nggak boleh kos. Apa nanti kata orang?" Mama menahan emosinya.

Aku ingin tertawa. Kenapa sekarang harus meributkan pendapat orang? Apa yang ada di benak Mama ketika mulai menggandeng laki-laki yang usianya jauh lebih muda? Atau saat mengundang orang asing ke ranjangnya dan Papa? Bercinta beramai-ramai dan tukar pasangan?

"Ma, aku nggak mau ganggu Mama. Aku juga nggak mau selalu marah sama Mama. Aku punya banyak hal yang perlu kuurus. Aku nggak mau mati karena kesal," balasku.

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang