Crazy Little Thing Called Love [3]

5.8K 1K 77
                                    

"Lea, Edgar itu beneran si langka yang kamu maksud tadi?" Vienna tahu-tahu sudah berdiri di depanku. Suaranya direndahkan agar hanya aku yang bisa mendengar kalimatnya. Tanpa sadar aku melirik ke kanan, mendapati Marcus sedang mengobrol dengan Kimi.

"Kenapa? Kamu tertarik sama dia?" kelakarku. Namun sesaat kemudian, jantungku terasa ditusuk karena pertanyaan yang kuajukan itu.

"Ya nggak lah," balas Vienna cepat. "Cakep, sih. Tapi masa aku harus saingan sama kamu terus? Jelas-jelas dia nggak bisa ngeliat ke arah lain. Dari tadi cuma fokus sama kamu doang," candanya. "Kamu belum jawab pertanyaanku."

"Dia memang si langka itu, Vien. Tapi dia juga punya banyak kekurangan. Salah satunya, dia punya kelemahan soal kesetiaan," imbuhku buru-buru. Sesaat kemudian, aku merasa hina. Aku menjelek-jelekkan Edgar begitu saja. Padahal ketidaksetiaannya melibatkan diriku. Andilku sama besar dengan Edgar.

"Mbak Zoe pernah cerita sekilas tentang laki-laki yang nggak bisa lupa sama kamu," beri tahu Vienna mengejutkan. "Nggak detail, sih. Mbak Zoe nggak sengaja sebenarnya. Awalnya mereka ngobrol di telepon, trus udahnya anak-anak kepo. Pas nanya ke Mbak Zoe, dijawab kalau teleponnya dari mantan yang nggak bisa move on dari kamu."

Tadinya kukira akan melihat Vienna menyeringai atau tersenyum menggoda. Namun aku salah. Vienna tampak serius, menatapku dengan sepasang mata bulat yang mengenakan softlens berwarna cokelat muda.

"Hmm, gitu deh kira-kira," jawabku dengan enggan.

"Aku sih nggak tau masa lalu yang kamu maksud. Tapi kalau ada laki-laki yang bisa menerima kita apa adanya, cinta setengah mati meski tau kita bukan cewek sempurna, kamu beruntung banget. Percaya, deh!"

Kalimat Vienna membuatku menelan ludah. "Beruntung? Mungkin, sih."

Sebelum meninggalkan butik, Vienna sempat bicara lagi kepadaku meski tanpa suara. "Kamu beruntung, jangan lupa itu."

***

Kedatangan Marcus saat tengah hari bukanlah hal yang mengejutkan. Dia cukup sering menyambangi Special One untuk mengajak kami makan siang di sekitar butik. Dulu, aku dan Kimi lumayan kerap menerima tawarannya. Namun sejak Kimi hamil dan sempat kesulitan menelan makanan karena selalu mual, frekuensinya menurun drastis. Atas nama kesetiakawanan, aku pun terpaksa sering menolak ajakan Marcus.

Sepeninggal Vienna, Dinda buru-buru mengambil empat buah kotak makanan berwarna hijau dari atas meja. Tentunya atas instruksi Yang Mulia Kimi dan diisyaratkan diam-diam. Dinda membawa makanan ke dapur kecil yang berada di bagian belakang butik.

"Edgar rutin ke sini ya, Lea?" tanya Marcus dengan nada datar. Lelaki itu beranjak dari sofa, berjalan pelan ke arahku.

"Iya," jawabku pendek.

"Dia datang setiap hari?" desak Marcus ingin tahu. "Tadi di depan Bang Bonnie sempat bilang, ada laki-laki yang sering banget datang ke sini."

Kimi malah tergelak. "Berarti Bang Bonnie cemburu, ya?"

Aku menatap Kimi dengan pandangan setajam silet, dan -syukurnya- bisa membuatnya segera tutup mulut. "Aku hampir nggak pernah ketemu Edgar. Kamu tanya aja sama Kimi," balasku dengan nada ringan. Marcus menoleh ke samping.

"Aku pengin bohong, sih. Tapi nggak ada gunanya," jawab Kimi. "Edgar datang dua kali dalam sehari, kayak minum obat. Dia sengaja ke sini untuk mengantar makanan buat kami berempat."

Kalimat Kimi membuat kening Marcus berkerut. "Sejak kapan?"

"Sejak kamu ketemu dia di sini. Lebih sebulan yang lalu," imbuh Kimi lagi.

"Oh."

Obrolan singkat dengan Vienna tadi mengusikku hingga membuat sederet kalimat meluncur tak tertahan. "Marcus, kamu ingat nggak pas kita ngobrolin soal cewek yang jalan bareng om-om dulu? Kalau nggak salah, pas kita lagi makan malam bareng."

Kimi tidak mampu menghalau ketertarikannya yang tergambar jelas. Dia bangkit dari sofa, mendekat ke arah kami.

"Hmmm, ingat. Kamu waktu itu pernah nanya, apa yang terjadi kalau cewek yang kutaksir mati-matian ternyata pernah jadi simpanan om-om, kan?"

"He-eh. Masih ingat sama jawabanmu?" tanyaku dengan nada sambil lalu.

"Ingat, dong. Kubilang, aku tipe orang yang hati-hati urusan cinta. Aku bukan penganut cinta buta. Pas mulai suka sama seseorang, aku biasanya berusaha nyari tau tentang cewek itu. Jangan sampai udah jatuh cinta setengah mati, ternyata tuh cewek bukan kayak yang kubayangin. Yah, nggak bermaksud sok paling lurus, sih. Tapi aku berusaha nurut sama kata-kata orangtua. Bibit, bobot, dan bebet itu memang penting."

"Sekarang, kamu belum berubah pikiran? Maksudku, masih memegang prinsip yang sama?" Alisku terangkat.

"Ya, masih sama kayak dulu. Hal-hal prinsipil kayak gitu nggak bisa diubah gitu aja," jawab Marcus dengan suara yakin.

"Wah, bahasannya serius amat," sela Kimi. "Eh, tapi aku jadi penasaran. Okelah, cewek yang kamu taksir itu punya cacat. Tapi dia tetap aja manusia biasa yang bisa bikin kesalahan fatal karena berbagai alasan. Masih terlalu muda, misalnya. Jadi belum bisa mikir panjang. Atau karena faktor ekonomi." Kimi menatap Marcus dengan serius. "Apa kamu tetap nggak bisa terima kekurangannya? Meski dia udah berubah total?"

Marcus menggeleng tegas. Andai lelaki ini tahu bahwa Kimi baru saja menggambarkan kondisi dirinya sendiri, aku tidak tahu apakah Marcus akan memberi jawaban jujur atau memilih untuk mengelak.

"Alasan ekonomi itu seringnya cuma dijadiin pembenaran supaya nggak dihakimi karena udah jual diri, Kim. Kerjaan halal masih berlimpah, kok! Nggak perlu sampai ngelakuin hal-hal di luar batas. Lihat deh kalian berdua! Kerja mati-matian jadi SPG sampai akhirnya bisa buka butik bagus. Nggak mengandalkan keluarga. Kerja keras selalu ada hasilnya, kan? Jalan pintas itu cuma dipilih sama orang-orang malas."

Kalimat frontal Marcus membuat Kimi mengernyit. Andai pria itu tahu dari mana kami mendapat modal untuk membangun Special One....

"Kamu sendiri mungkin punya cacat, kan? Tiap orang pasti gitu. Tetap nggak bisa maklum kalau ada cewek yang memiliki kekurangan?" Kimi bersuara lagi.

"Tergantung kekurangannya dong, Kim. Kita kan tadi bahas soal masa lalu dan semacamnya. Cewek-cewek yang pernah memilih hidup bebas, nggak bisa kutolerir. Di luar itu, aku nggak punya masalah."

Lagu : Numb (Linkin Park)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang