Les Masques [3]

8.5K 1.2K 34
                                    

Aku belum sempat merespons saat seseorang menarik tangan kiriku yang bebas. Kimi. "Marcus, makasih udah nolong Leala," ujar sahabatku.

"Aku nggak ngapa-ngapain, kok!" balas Marcus pelan. Cowok itu melepaskan pegangannya dari lenganku.

Tanpa basa-basi, Kimi menarikku masuk ke sebuah ruangan yang sudah penuh. Sejenak aku ingat segala kecemasanku sejak tadi. Aku mengucap syukur diam-diam karena belum terlambat. Dosenku belum datang.

"Barusan kamu mau ngapain di luar?" Kimi menatapku tajam. Ternyata dia melihat bahasa tubuhku yang "garang" dan siap untuk "berperang" dengan mantan kekasihku. Sayang, aku tidak bisa menjawab pertanyaannya karena dosenku sudah datang. Baru setelah kuliah berakhir, kami bisa leluasa berbincang.

"Kamu lihat gimana noraknya Krishna, kan? Aku nggak nyangka dia sengaja manas-manasin. Bawa cewek untuk dipamerin di depanku," gerutuku panjang. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Krishna akan melakukan hal seperti itu. Sama sekali tidak keren.

"Tapi kamu tadi mau ngapain? Berantem di depan umum? Jambak-jambakan sama cewek itu?" Kimi menatapku dengan tatapan mencela. "Kayaknya Marcus pun tau niatmu."

"Jambak-jambakan kayaknya seru juga. Tapi terpaksa batal karena kamu keburu narik tanganku," aku menyeringai.

"Ngapain sih terpancing? Krishna sengaja mau bikin kamu cemburu. Cowok kayak gitu nggak perlu ditanggapi. Buang-buang tenaga aja!"

Aku tertawa geli melihat gelora kemarahan yang memancar dari wajah sahabatku. Sepertinya Kimi jauh lebih emosi dibanding diriku sendiri. Sahabat yang setia.

"Kamu masih sedih, ya?" suara Kimi berubah. Kini, dia tampak cemas dan khawatir.

Aku kembali tertawa. Kami keluar dari ruang kuliah yang mulai kosong.

"Lea..."

"Kamu lucu. Sebentar marah sebentar cemas. Apa menurutmu aku sedih? Nggaklah, semuanya udah lewat. Marah, cuma itu perasaan yang tersisa. Di luar itu, nggak ada."

Kimi tampak lega, seakan baru saja melepaskan beban seberat dunia dari pundaknya.

"Baguslah kalau gitu, aku lega dan senang. Aku nggak rela kamu nangisin cowok kelas teri kayak gitu."

Ternyata, acara "pamer" cewek itu tidak hanya terjadi sekali. Hingga beberapa minggu kemudian Krishna masih melakukan hal itu. Membuat kami menjadi pusat perhatian seisi kampus. Gosip panas menyebar cepat.

"Harusnya, begitu aku mutusin Krishna, besoknya aku langsung deketin Marcus aja. Kalau Jordy sih ogah, cowok murahan dianya." Aku tertawa sambil menyikut Kimi. "Lalu, aku pura-pura pisah dari cowok gombal itu gara-gara taruhan mereka. Minimal, aku bisa minta bagian dari taruhan sinting itu," celotehku asal.

"Kalau kejadiannya kayak gitu, kurasa Krishna bakalan bunuh diri," balas Kimi. "Tapi, jadinya malah nggak seru, Lea. Kamu harusnya bikin dia hidup segan mati enggan. Gimana?"

Aku dan Kimi terkekeh geli karena usulnya yang tak jelas itu.

***

Ternyata ledakan petir dalam hidupku masih belum berhenti. Setelah Krishna dan Kimi, masih ada kejutan mengerikan yang menantikan. Kali ini, berita buruk datang dari kedua orangtuaku.

"Lea, Mama dan Papa mau bicara," cetus Mama yang sedang berdiri di ambang pintu kamarku dengan wajah datar. Mama tidak menunjukkan emosi yang berarti. Namun aku sangat yakin, ada sesuatu yang tidak beres. Tidak biasanya Papa dan Mama secara khusus ingin berbincang denganku. Terakhir kali peristiwa ini terjadi adalah empat tahun silam. Ketika itu, kakekku dari pihak Mama meninggal dunia.

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang