Cinta Tanpa Jeda [1]

5.7K 1K 152
                                    

Kimi masih berusaha mencegahku keluar dari mobil dengan memegangi tangan kananku. "Lea, tolong pikirin baik-baik. Kamu masih punya waktu untuk berubah pikiran. Kalau kamu maksain masuk, cuma akan nyakitin hatimu. Buat apa kamu ngeliat dia lagi? "

Aku menggigit bibir. "Kim, kamu udah nganterin aku sampai sini, nyetir berjam-jam. Lalu, kenapa nggak boleh masuk ke dalam sana? Toh hanya tinggal beberapa langkah lagi."

Kimi mendesah. Wajahnya tampak mendung. Garis-garis kecemasan tergambar di sana. Dia bahkan tampak lebih kacau dibanding diriku sendiri. Dua hari lalu aku sudah menghabiskan semua energi yang kupunya untuk menangisi jalan hidup yang meremukkan hati.

"Ayolah! Aku janji, kita cuma sebentar," bujukku. Kulepaskan tangan Kimi yang memegangiku dengan gerakan perlahan. "Kamu nggak perlu takut aku akan jadi gila, Kim. Aku akan jadi anak baik. Di dalam sana, aku bakalan bersikap sopan," kataku, berjuang untuk bergurau.

Kimi dan aku akhirnya keluar dari mobil. Kami berjalan bersisian. Saat ini sudah pukul tujuh malam. Selain tas tangan mungil, aku membawa undangan yang harus ditunjukkan di pintu masuk. "Gimana penampilanku?" bisikku.

Kimi bersuara sama rendahnya dengan diriku. "Aku belum pernah ngeliat kamu secantik ini."

Gaun panjang berwarna rose pink membalut tubuhku. Berbahan lembut dan jatuh dengan bagus, gaun ini bermodel sederhana saja. Dengan kerah V yang tidak terlalu rendah, tanpa lengan, dan ada aksen kerut di bagian pinggangnya.

Aku sengaja mengenakannya di hari ini. Kubeli hampir setahun lalu tapi tak pernah merasa memiliki kesempatan yang pas untuk dikenakan. Namun hari ini aku memilih gaun ini tanpa pikir panjang. Aku ingin dia bisa melihatku tampil cantik untuknya dan menyesali pilihan yang sudah dibuatnya. Aku ingin menyiksanya.

Suasana di dalam gedung sangat ramai. Kimi memegang tanganku erat. Seakan takut aku tidak akan terkendali dan melakukan sesuatu yang menakutkan. Mungkin setelah ini aku akan melarang Kimi menonton film tentang pembunuh berantai. Karena dia terlalu terkesima dengan kalimat "satu ingatan traumatis yang selama ini dikira udah dilupain, bisa jadi pemicu terjadinya kejahatan".

"Tenang Kim, aku nggak akan bikin onar," kataku sambil menepuk punggung tangan sahabatku. Aku baru saja menuliskan nama di buku tamu sambil menunjukkan undangan. Sementara Kimi sudah memasukkan amplop ke dalam kotak khusus yang disiapkan.

Setelah itu, kami berdua menyeberangi lorong panjang yang dipenuhi deretan meja berisi makanan. Namun aku sama sekali tidak tertarik mencicipi apa pun. Kami terus melangkah, melewati pintu lebar. Aku sempat melamban saat mataku menangkap deretan foto yang sengaja disusun rapi di depan pintu. Mataku mengerjap berkali-kali, memandang puluhan potret yang menggambarkan kebahagiaan itu.

"Lea...." panggil Kimi. Aku menoleh ke kanan, tersenyum selebar yang kubisa dan mengabaikan rasa sakit yang menyesaki dadaku.

"Aku nggak apa-apa. Cuma terpesona sama foto-fotonya. Pengantinnya cantik."

Kami kembali melangkah menuju bagian tengah ballroom hotel yang luas itu. Hingga aku berhenti di antara kerumunan tamu. Mataku tertuju ke depan, ke arah Edgar yang sedang menjadi pusat perhatian dari semua orang yang hadir. Dia sangat gagah dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Sementara di sebelah kirinya, berdiri seorang perempuan yang tak kalah memesona.

Edgar, orang yang kuanggap sebagai belahan jiwaku, tersenyum dan berbicara kepada orang-orang yang menyalami dan mengucapkan selamat bergiliran. Istri cantiknya pun sama. Mereka tampak sangat serasi.

Saat itu hatiku tergelitik oleh satu kalimat. Apa yang akan terjadi jika aku mengumumkan bahwa aku kekasih mempelai pria? Pernikahan ini mungkin akan bubar sebelum benar-benar dimulai. Atau minimal sudah berbadai dahsyat sebelum pasangan pengantin melewatkan malam pertama. Namun, apakah memang itu yang kuinginkan?

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang