Rainbow of You [3]

6.6K 1.1K 87
                                    

Edgar membantuku keluar dari mobil. Nyeri di kakiku makin menjadi. Kimi yang sudah kutelepon untuk mengabari bahwa kakiku terkilir dan butuh bantuannya, berlari melintasi halaman dan membuka pagar dengan panik. Apalagi ketika melihatku tidak bisa berdiri dengan stabil.

"Kamu kenapa?" Kimi mencengkeram lengan atasku. Aku meringis.

"Bahunya sakit," Edgar menukas. Kimi buru-buru melepaskan tangannya sambil meminta maaf.

"Kim, ini Edgar. Dia dewa penolongku," aku mencoba bergurau. Kimi dan Edgar bertukar sapa dengan sopan. Ketika berada dalam posisi berdiri ini, aku kembali menyadari alasan aku merasa bahwa Edgar raksasa. Dia sangat jangkung. Tinggiku hanya mencapai bahunya.

"Kamu bisa jalan?" Edgar menatapku.

Aku mengangguk sambil agak mendongak. "Kimi bisa memapahku."

Namun ternyata aku salah. Aku tidak tahan dengan rasa sakit yang menghunjam tiap kali aku mencoba melangkah. Baru tiga langkah aku sudah berkali-kali mengaduh kesakitan.

"Nggak bisa kayak gini, deh. Sini, biar kugendong aja!"

Edgar tidak menunggu persetujuanku. Dengan hati-hati dia membopongku. Lalu membungkam mulutku yang melontarkan protes dengan kalimat pendek, "Nggak ada bedanya menggendongmu sekali lagi."

Mau tidak mau aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya karena khawatir terjatuh. Kimi menunjukkan jalan ke kamar kami dengan ekspresi yang sukar terbaca.

"Kamu ngekos?" Edgar tampak kaget.

"Iya."

"Keluargamu?"

"Kamu terlalu banyak nanya," protesku.

Setelah membaringkanku di ranjang, Edgar berujar lembut dengan kalimat mengejutkan. "Aku dua kali menggendongmu. Kamu berutang sama aku. Nanti aku pikirin cara bayar yang paling tepat."

Dia lalu berpaling ke arah Kimi dan menyebut namaku untuk pertama kalinya. "Kaki Lea harus dikompres untuk ngurangin bengkaknya."

Kimi tersenyum sambil mengangguk. Di bawah siraman lampu kamar yang terang, aku bisa menatap wajah Edgar. Tanpa bisa dicegah, aku kehilangan kata-kata. Aku seperti melupakan bahasa. Untungnya Kimi masih punya sopan santun yang memadai.

Lelaki itu tidak hanya sangat tinggi, tapi juga atletis. Kulitnya putih. Hidungnya ramping, giginya tidak terlalu rapi, matanya tajam. Secara keseluruhan, semua yang melekat di wajahnya, proporsional. Kacamatanya menambah pesona Edgar. Dia tampak menawan, pintar, sekaligus lembut. Poin terakhir itu efek dari senyum yang merekah di bibirnya.

"Mau minum dulu?" Kimi menawari.

Edgar menggeleng. "Udah terlalu malam. Aku harus balik ke Jakarta." Lalu matanya menatapku. "Aku pulang dulu, ya? Kamu harus cepat sembuh. Nggak ada yang mau gendong kamu lagi," guraunya. Bibirnya tidak tersenyum tapi sebaliknya dengan matanya.

"Hati-hati nyetirnya, Ed." Hanya itu yang bisa kuucapkan. Hatiku mendadak kelabu karena kemungkinan besar takkan pernah bertemu lelaki itu lagi.

Edgar melambai sebelum menghilang di balik pintu. Kimi mengantar Edgar hingga ke mobilnya. Ketika kembali ke kamar beberapa menit kemudian, wajahnya berganti-ganti ekspresi seperti kerlip lampu disko.

"Di mana kamu ketemu cowok itu? Cakepnya keterlaluan," cetus Kimi bersemangat. Sesaat kemudian, sahabatku itu mendadak serius. Matanya berhenti di rokku yang sobek dan kotor. "Ada apa sebenarnya? Kenapa kakimu bisa bengkak gitu? Penampilanmu benar-benar berantakan."

Aku mendesah. "Bisa nggak kamu tolong aku ganti baju dulu? Nanti aku baru cerita."

Kimi menurut tanpa nada keberatan. Dia membantuku mengganti pakaianku yang kotor. Kimi juga mengompres kakiku dengan hati-hati.

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang