My Better Half [3]

5.2K 964 51
                                    

"Nanti aku mulai nyari info tentang lokasi bagus yang bisa dijadiin butik. Kemarin itu Mbak Zoe sempat bilang ada ruko yang dikontrakin di dekat Medalion. Ntar deh kutanya lagi," kata Kimi setelah kami saling berdiam nyaris dua menit.

"Oke," aku mengangguk. "Besok aku mau diskusi juga sama anak-anak di sini. Tessa kerja di perusahaan garmen, sedangkan Mbak Firdha orang manajemen." Lalu aku membubuhi dengan gurauan. "Ada untungnya juga kalau punya butik di dekat Medalion. Kalau Mbak Zoe butuh SPG dadakan, salah satu dari kita bisa langsung pakai seragam." Sebagai respons, sahabatku terkekeh geli.

Aku dan Kimi akhirnya benar-benar serius mulai bersiap terjun ke dunia usaha. Seperti pendapat Kimi, membuat lini busana sendiri adalah pekerjaan yang merepotkan. Juga dengan risiko yang lebih besar. Memilih dan menyeleksi tim desain saja sudah memakan waktu yang lumayan panjang.

Belum lagi memilih penjahit yang kelak akan kami manfaatkan keahliannya. Namun semua itu rasanya cukup sepadan. Aku bermimpi, butik kami kelak merupakan gambaran lengkap tentang kedua pemiliknya.

Di sela-sela itu semua, Edgar makin sering datang ke Bogor meski aku sudah memintanya mempertimbangkan jarak yang harus ditempuh. Sayangnya, meski kami makin sering bertemu, belakangan sikap Edgar mengusikku. Bukan cuma sekali dua aku melihatnya melamun, seakan terseret dalam dunianya sendiri. Edgar lebih sering tertangkap basah sedang menatap sesuatu dengan pandangan kosong. Atau tidak mendengar ucapanku sehingga aku harus mengulanginya.

"Kamu punya masalah ya, Ed?" tanyaku suatu ketika. Aku sudah benar-benar tidak bisa bersikap seolah tidak ada apa-apa. "Jangan ngelak, deh. Kamu sekarang beda. Kayak ada yang dipikirin."

Edgar tertawa kecil, tapi di mataku gelaknya itu tidak natural. "Nggak ada apa-apa, cuma memang aku lagi agak sibuk karena urusan showroom. Tapi kalau gara-gara itu kamu mau nyuruh aku jangan terlalu sering ke sini, aku bakalan pura-pura nggak dengar."

"Kenapa aku nggak percaya, ya?" Aku membandel.

"Justru bagus. Kalau kamu terlalu mudah percaya, nggak ada tantangannya," ujar Edgar, bergurau.

Aku mengecimus. "Hah! Tantangan apaan?" protesku. Lalu sedetik kemudian aku berubah serius. "Kalau ada apa-apa, ngomong sama aku dong, Ed. Kamu bisa cerita apa aja sama aku. Kita pacaran, kan? Aku bisa jadi teman curhat yang oke, mungkin juga membantu nyari jalan keluar. Kurasa aku udah cukup dewasa untuk itu."

Edgar terkekeh geli. Dia mengelus kepalaku selama beberapa detik. Laki-laki satu ini memiliki sikap intim yang begitu kusukai. Karena memberi efek menyamankan. Edgar tidak pernah bersikap berlebihan, memesraiku dengan mencolok di depan umum. Mungkin karena usianya yang sudah dewasa. Hal terjauh yang dilakukannya adalah memelukku di restoran piza saat aku setuju kami pacaran. Selain itu, dia terbiasa memegang tangan atau mengelus pipi dan kepalaku.

"Aku tau kamu udah dewasa, kok! Udah cukup umur. Aku bukan paedofil, Leala. Aku nggak mungkin pacaran sama anak kecil."

Akhirnya aku malah terbahak-bahak, lupa pada kecemasanku sebelumnya. Ketika Edgar mengantarku pulang, dia memintaku untuk tidak mencemaskan apa pun. Kali ini aku menurut. Esoknya, kekasihku menelepon. Dia minta maaf karena tak bisa menemuiku untuk pamit. Edgar harus terbang ke Jepang selama seminggu. Tujuan utamanya adalah menemani mamanya.

"Mama pengin ke Jepang karena belum pernah belanja di sana. Biasanya ke Hong Kong, Thailand, atau Singapura. Kemarin dapat rekomen dari salah satu teman lamanya. Sayang, nggak ada yang bisa ikut kecuali aku. Terpaksa deh besok harus ngekorin Mama ke Jepang."

Sepanjang hampir tujuh bulan mengenal Edgar, aku tak asing dengan cerita tentang ibunya yang melarikan kesepian hati setelah ditinggal suami dengan cara berbelanja. Sebelum ini, Edgar juga pernah mengawal ibunya ke Korea dan Malaysia.

"Kamu jangan macem-macem, ya?" gurauku. "Seminggu jauh dari aku, jangan coba-coba ngelirik cewek lain."

"Aduh Lea, aku nggak berminat ngelirik cewek lain," Edgar membela diri. "Aku bakalan ngabisin waktu menguntit ibu-ibu paruh baya sambil menenteng belanjaan."

Aku terkekeh geli membayangkan kedua tangan Edgar dipenuhi kantong-kantong belanjaan. "Ya udah, selamat jadi pengawal kalau gitu."

"Cewek Jepang atau yang lain bukan tipeku. Aku cuma jatuh cinta separah ini sama kamu," gumam Edgar dengan nada serius. Pipiku pun terasa panas seketika.

"Edgar, udah deh nggak usah ngerayu melulu. Aku bisa diabetes kalau kamu terus-terusan kayak gini," ucapku dengan senyum lebar. Edgar, sudah pasti bukan laki-laki terbaik di dunia. Namun aku yakin dia adalah belahan jiwaku, pria yang paling tepat bersamaku.

Selama Edgar berada di Jepang, dia tetap menghubungiku setiap hari. Sementara aku menyibukkan diri mengunjungi beberapa ruko yang disewakan bersama Kimi. Ada dua tempat yang sama-sama membuat kami terpesona. Namun aku dan Kimi belum bisa memutuskan mana yang lebih disukai.

Kami juga mendatangi beberapa pabrik tekstil di wilayah Bogor untuk melihat contoh bahan dan memperbandingkan harga. Kelak setelah bisnis kami dimulai, aku dan Kimi harus berhubungan langsung dengan para pemasok. Bahan pakaian hanyalah salah satunya.

Edgar mengejutkanku ketika tiba-tiba muncul di tempat indekos tanpa pemberitahuan. Aku baru saja hendak membeli makan malam saat pintu kamarku diketuk. Begitu melihat wajah Edgar, aku memekik riang sambil memeluknya. "Kok kamu nggak nelepon kalau udah pulang? Kukira baru besok kamu balik, Ed."

"Aku sengaja mau bikin kejutan," balas Edgar. "Kita bisa keluar sekarang, Lea?" tanyanya dengan suara pelan. Lalu Edgar mengejutkanku saat mengajukan satu pertanyaan lagi. "Kamu keberatan nggak kalau kita menginap malam ini?"

Aku melepaskan diri dari dekapan Edgar, mundur selangkah agar bisa menatap wajahnya dengan leluasa. "Tolong, jangan mikir yang jelek. Rasanya kita butuh waktu panjang untuk bicara tanpa diganggu. Makanya kurasa lebih baik kita menginap aja. Di tempat yang memungkinkan kita punya privasi."

Sesungguhnya, aku tidak memikirkan apa-apa. Aku tidak menganggap ajakannya sebagai sesuatu yang lancang. Aku sudah pernah melampaui yang jauh lebih gelap dibanding itu.

"Aku nggak mikir jelek, kok," bantahku. "Heran sih iya, karena kamu nggak pernah ngajak aku menginap sebelum ini. Bukan berarti aku pengin, sih." Akhirnya aku malah menjadi canggung karena bibirku melisankan kata-kata yang bisa diartikan keliru. "Kamu tunggu di mobil aja, ya? Aku mau nyiapin baju ganti dulu. Nggak akan lama. Aku juga mau nelepon Kimi. Dia belum pulang."

Aku lalu melesat cepat untuk mengambil baju ganti serta perlengkapan mandi. Semua kumasukkan dalam tas serut ukuran sedang. Ketika aku bergabung dengan Edgar di mobil, aku melihat ada tas kecil di jok belakang.

"Kamu mau ngajak aku ke mana?"

Edgar malah balik bertanya. "Kamu mau ke mana?"

"Jogja," jawabku cepat. Aku ingat, ketika Mama dan Papa mengajakku liburan di kota itu lebih satu dekade silam, aku menangis tidak mau pulang.

"Sungguh? Ke Jogja?" Edgar terbelalak. "Maaf Lea, bukannya aku nggak mau ngajak kamu ke sana. Tapi ... hmmm ... lusa aku ada acara penting."

Aku terbahak mendengarnya. "Kenapa sih kamu cenderung serius menanggapi omonganku? Mana mungkin aku ngajak kamu ke Jogja sekarang? Tumben kamu ngajak aku menginap. Sebenarnya ada apa? Kamu kayaknya serius banget."

Edgar tidak menjawab pertanyaanku. Malah bertanya lagi ke mana aku ingin pergi.

"Ke mana aja, asal sama kamu. Aku nurut sama pilihanmu," jawabku jujur.

Edgar menoleh ke kiri. Sepertinya dia kaget dengan kata-kataku. "Apa aku memang sepenting itu buatmu?"

Tanpa ragu, kepalaku terangguk. "Itu pertanyaan basi. Kalau kamu nggak sepenting itu, aku nggak bakalan ada di sini sekarang," kataku sambil mencibir. Gurauanku tidak mendapat respons seperti biasa. Tidak ada senyum dan tawa Edgar.

Hatiku langsung tahu, ada sesuatu yang serius sedang terjadi. Aku tak bisa mencegah rasa takut yang seketika mencengkeram. 

Lagu : Like I'm Gonna Lose You (Meghan Trainor ft. John Legend)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang