My Better Half [2]

5.5K 913 22
                                    

"Aku kan bilang, itu perumpamaan doang. Nggak harus diartikan secara harfiah juga, Lea." Edgar menempelkan dagunya di kepalaku. "Pokoknya, jangan menilai aku terlalu tinggi. Aku cuma laki-laki biasa yang punya banyak kekurangan."

"Omong-omong, aku ngerti soal rahasia yang kamu maksud tadi," kataku dengan suara lirih. "Kita berandai-andai, nih. Kalau kamu tau aku punya rahasia yang menjijikkan, apa kamu bakalan langsung ninggalin aku?"

"Nggak akan," balas Edgar yakin. "Cinta itu bikin kita bisa menerima dan memaklumi segala hal tentang seseorang," gumamnya lembut.

"Itu namanya cinta buta. Udah nggak objektif lagi."

"Tapi, bukankah cinta memang semestinya buta? Kita punya perasaan istimewa sama seseorang begitu aja. Bukan karena uang, latar belakang keluarga, atau pendidikan. Tapi karena hal-hal absurd yang nggak bisa dijelaskan."

Edgar benar, aku setuju dengannya. Namun aku memilih untuk tak menyuarakan pendapatku. Sebagai respons, aku cuma memeluknya kian erat. Bantingan pintu mobil terdengar, diikuti teguran bernada menggoda. "Hei, kalian jangan pacaran melulu. Udah malam nih, ntar masuk angin."

Aku buru-buru mencari sumber suara dan berhadapan dengan senyum lebar Kimi. Aku juga melambai kepada Ravel yang sempat membunyikan klakson sebelum berlalu. Kimi langsung menuju pintu pagar yang terbuka.

"Lihat siapa yang ngomong," sindirku. Kimi meninggalkan suara tawa di belakangnya.

"Udah waktunya kamu pulang, Ed." Aku akhirnya melepaskan pelukanku dengan enggan. Kulirik arlojiku sebentar.

"Kok aku jadi diusir gara-gara Kimi ngomong gitu, sih?" Edgar cemberut. Aku tertawa geli sambil menepuk pipi kanannya.

"Aku sih penginnya kamu ada di dekatku seharian. Nggak perlu pulang dan nyetir ke Jakarta. Tapi itu kan nggak mungkin." Aku membenahi posisi tasku yang melorot di bahu kanan. "Hati-hati nyetirnya ya, Ed. Jangan ngebut dan jangan ngantuk. Awas aja kalau kamu kenapa-napa."

Kekasihku akhirnya menyeringai. "Iya, aku janji nggak akan kenapa-napa." Edgar menangkup kedua pipiku, lalu agak menunduk untuk mengecup ujung hidungku. "Aku pulang dulu, ya. Kamu juga jangan malam-malam tidurnya."

"He-eh."

"Lusa aku ke sini."

Aku menahan diri agar tidak mengernyit. Sebenarnya, belakangan ini aku berusaha untuk tidak berkomentar. Namun kali ini aku tidak bisa terus menahan diri. "Bukan bermaksud mengeluh. Aku sih senang banget tiap kali kamu datang. Tapi, sejak aku masuk rumah sakit, kamu jadi makin sering ke sini. Masalahnya, Jakarta-Bogor itu jaraknya lumayan, Ed. Aku nggak mau malah bikin kamu repot."

"Kamu nggak akan bisa melarangku sering-sering datang ke sini," tukas Edgar. Tangan kanannya yang nyaris membuka pintu mobil, menggantung di udara. "Aku nggak pernah merasa repot, Lea. Aku ke sini karena pengin ketemu kamu. Sesering yang aku bisa. Aku pengin selalu manfaatin waktu yang ada. Karena...." Edgar tidak melanjutkan kalimatnya. Dia malah berdeham pelan.

Aku membuka mulut. "Karena kamu nggak mau ada penyesalan, kan?" tebakku. "Itu yang aku nggak suka. Kamu jadi merasa bersalah karena apa yang pernah kualami. Padahal itu bukan tanggung jawabmu."

Edgar menggeleng sebagai bantahan. "Aku nggak merasa bersalah. Tapi aku nggak mau kehilangan kesempatan untuk jagain kamu, Lea."

"Aku nggak mau jadi beban seseorang. Meski orang itu kamu."

"Kamu bukan beban siapa-siapa," tegas Edgar. "Gini ya, Lea. Aku ke sini sesering mungkin karena aku memang punya waktu. Kalau nggak, aku juga nggak mungkin maksain diri." Edgar meremas tangan kiriku. "Aku tau kamu bisa jaga diri."

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang