Cinta Empat Sisi [1]

5.5K 1K 52
                                    

Nyatanya, aku salah besar. Tidak ada yang cukup jika sudah berkaitan dengan hubunganku dan Edgar. Ketidakpuasan makin menyandera dan membuatku tersiksa. Begitu juga rasa cemburu yang meluluhlantakkan jiwaku. Bagaimana aku bisa tidur dengan nyenyak jika setiap saat yang tergambar di pelupuk mataku adalah Edgar seranjang dengan Nina? Semua itu diperparah dengan perasaan bersalah yang meninjuku berjuta kali.

Edgar datang ke Bogor dua atau tiga kali seminggu, seperti saat kami pertama kali pacaran. Aku dan dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengobrol, tentang apa saja. Mencobai banyak restoran yang belum pernah kami datangi, di wilayah Bogor dan sekitarnya. Aktivitas yang sederhana tapi membuatku bahagia. Dulu.

Tidak ada perubahan berarti. Edgar tidak datang dengan setumpuk hadiah karena perasaan bersalah, misalnya. Aku pun sama sekali tak berminat membuat "jebakan" yang membuka peluang untuk mendapatkan Edgar sepenuhnya. Bercinta dan sengaja hamil. Tidak akan! Cukuplah Reiner menjadi satu-satunya kesalahanku.

Seiring waktu, aku tak lagi merasa cukup dan puas. Karena aku tahu, Edgar bukan milikku sepenuhnya. Dia sudah mempunyai istri yang mungkin saja saat ini sedang mengandung. Istri yang sudah pasti membutuhkan suaminya meski Edgar pernah bilang bahwa Nina bekerja di sebuah BUMN dan selalu sibuk kecuali akhir pekan.

Aku tak sanggup terus menjalani hubungan seperti ini. Namun di satu sisi, aku belum mampu membulatkan hati untuk melepas Edgar. Rasa takut kehilangan orang yang kucintai membuatku lemah.

Hingga, suatu hari Kimi pulang dengan kondisi babak belur. Ada lebam di pipi kanan, rahang kiri, serta bibir yang bengkak. Aku yang sudah nyaris tertidur, terduduk di ranjang begitu melihat kondisinya. Belum lagi blusnya yang sobek dan membuat Kimi harus memegangi bagian leher agar tidak melorot.

"Kim, kamu kenapa?" Aku turun dari tempat tidur, menghampiri Kimi yang sedang membelakangiku. Dia meletakkan tasnya begitu saja di lantai, sepatunya pun tergeletak di dekat pintu. Padahal Kimi adalah orang yang rapi dan tidak betah jika melihat sesuatu tak pada tempatnya.

"Kim...." panggilku lagi karena sahabatku tak juga menjawab. Saat itu aku menyadari bahunya bergetar. Setelahnya, aku mendengar isak tangis sahabatku.

"Kim, kenapa? Kamu jatuh?" tanyaku bingung. Namun sesaat kemudian aku mendadak membeku. "Ravel ... mukul kamu, Kim?"

Sahabatku berbalik, memelukku dengan tangis yang makin kencang. Namun aku sempat mendengarnya membuat bantahan. "Bukan."

Aku tidak tahu harus melakukan apa. Berdiri membatu seraya memeluk sahabat terbaikku, aku mengusap punggungnya.

"Kim," aku kembali menyebut namanya. Sudah berlalu puluhan detik, sahabatku masih menangis tanpa bicara. "Bibirmu luka, Kim. Nggak diobatin?"

"Aku mau bersih-bersih dulu, Lea. Bibirku nggak usah diobatin." Kimi akhirnya melepaskan diri dari pelukanku. Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik menuju kamar mandi.

Sebenarnya ini hari yang melelahkan untukku dan Kimi. Sejak pagi kami disibukan setumpuk urusan butik yang diberi nama Special One. Usaha patungan kami itu akan mulai beroperasi beberapa hari lagi. Tadi aku dan Kimi merapikan ruang pamer saat Ravel datang. Karena tidak banyak pekerjaan rumit yang tersisa, aku mempersilakan sahabatku pergi bersama kekasihnya.

Tak lama setelah Kimi pergi, aku sempat mampir ke Medalion yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari Special One. Aku menghabiskan waktu bersama Mbak Zoe, mencari tahu kabarnya. Mantan bosku itu membeli seporsi piza yang kami santap bersama sambil mengobrol ringan. Aku dan Kimi sudah berhenti dari Medalion sejak sebulan silam.

Kimi menghabiskan waktu sepuluh menit di kamar mandi. Tubuhnya hanya berbalut handuk saat kembali ke kamar. Aku menunggu Kimi berpakaian meski rasa sabarku sudah melayang sejak tadi.

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang