The Curse of Beauty [1]

8.1K 1.1K 24
                                    

Akhirnya aku sadar, ada sesuatu yang berbau busuk di balik rencana perceraian kedua orangtuaku. Dengan insting dan naluriku yang belum sepenuhnya terasah, aku tahu ada perselingkuhan di sana. Mama yang mendadak genit di telepon, parfum yang diganti, hingga model rambut dan pakaian yang makin trendi.

Papa dan Mama tidak bisa dicegah. Aku dan kedua kakakku yang konon merupakan hal terpenting bagi mereka, menjadi semacam angin hampa yang bertiup tanpa guna sama sekali. Keduanya bersikukuh mengakhir jalinan rumah tangga puluhan tahun ini. Seakan senyawa di antara mereka selama ini tidak mempunyai makna.

Papa tetap membawa kopernya malam itu. Tidak pernah menoleh lagi ke belakang. Seakan semuanya sudah menjadi masa lalu yang harus atau sudah dilupakan. Aku masih menangis hingga menjelang pagi. Bantalku basah, kepalaku pusing dan berdenyut-denyut, mataku bengkak. Aku bahkan merasa sulit untuk menghirup udara bebas.

Mama? Diam dan dingin. Tidak membujuk atau berusaha menghapus kesedihanku. Mama memang bicara panjang lebar tentang "ketidakcocokan" di antara mereka. Namun bagiku itu lebih mirip pembelaan diri. Bahwa Mama sudah berusaha keras dan tidak berhasil. Bahwa Papa sulit untuk dimengerti dan tidak pernah hendak mengalah.

"Siapa laki-laki itu, Ma?" tanyaku akhirnya. Terlalu banyak alasan yang diajukan Mama hanya untuk menunjukkan bahwa Papa adalah orang yang berengsek. Lalu, mengapa mau menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk laki-laki seperti itu?

"Siapa?" Mama mendadak waspada.

Aku mendengus. Mataku terasa berkunang-kunang. "Orang yang selalu Mama telepon tiap kali Papa nggak ada di rumah? Yang dulu kukira Papa?" Sebagai respons, alis Mama naik dan hampir bertaut. "Jangan bilang kalau dia bukan siapa-siapa! Karena aku bukan orang bodoh. Aku dengar sendiri Mama manggil 'Sayang'."

Mama terpana dan kehilangan kata-kata entah berapa lama. Mungkin tidak pernah menyangka jika aku akan membuka topeng yang menempel di wajahnya. Mama selalu mengira jika aku hanyalah anak kecil yang lugu.

"Itu... hmm... teman Mama."

Ada keganjilan saat Mama mengucapkan kata "teman". Wajah Mama tampak berubah. Bukan pucat, melainkan merona. Memerah jambu.

"Siapa? Namanya?"

"Ah... belum saatnya. Nanti kamu juga akan tau," Mama memalingkan wajahnya, menghindari tatapanku.

"Dia akan... ngegantiin Papa?" Aku merasa tercekik saat menuntaskan kalimatku.

Tanpa terduga, Mama malah tertawa. Padahal air mataku masih meruah tanpa henti. "Apanya yang lucu, Ma?" tegurku tajam.

Mama menutup mulutnya. Tidak ada kesedihan di wajahnya. "Kamu yang lucu. Mengajukan pertanyaan kayak gitu. Urusan sama Papa aja belum beres. Mama belum mikir sejauh itu."

"Lalu, kenapa Mama selingkuh?" tanyaku terus terang. Kali ini, kilatan kejut memenuhi wajah Mama. Hilang sudah merah jambu itu. Dan aku lebih suka melihatnya begini.

"Mama nggak selingkuh. Siapa yang bilang gitu?" balas Mama dengan ketus.

"Bukan selingkuh, ya? Lalu kenapa Mama punya hubungan sama orang lain selain Papa? Karena itu kan, Mama dan Papa mau bercerai? Iya, kan Ma?" desakku tak kalah keras.

Mama menarik napas panjang. Kekusutan terpeta jelas di wajahnya. Beginilah seharusnya wajah orang yang ingin bercerai.

"Bukan Mama yang mulai. Mama nggak akan berkhianat selama Papa setia. Ah, udahlah! Kamu akan sulit untuk mengerti. Masalah Mama dan Papa itu sangat kompleks. Nggak sesederhana yang terlihat. Nggak mudah untuk diuraikan."

"Apa Mama udah nggak cinta Papa lagi?" tanyaku perih.

Mama mengelus rambutku. "Ini bukan hanya masalah cinta, Sayang. Juga ada masalah tentang menghargai orang lain, komitmen. Tentu Mama masih cinta sama Papa. Kami udah berbagi hidup puluhan tahun. Ada kalian di antara kami. Tapi ternyata itu semua belum cukup untuk mempertahankan hubungan kami," urai Mama.

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang