Rainbow of You [1]

6K 1K 35
                                    

Aku terlalu terperangah hingga tak menjawab pertanyaannya. Lelaki itu akhirnya benar-benar membopongku ke mobilnya yang diparkir dengan pintu bagian sopir terbuka. Dengan susah payah dia membuka pintu belakang dan mendorongku ke atas jok empuk dari kulit. Pakaianku kotor di sana-sini. Rasa nyeri seolah datang dari seluruh penjuru tubuhku. Suara derum mesin terdengar menjauh, mobil Krishna.

"Maaf...." sergahnya cepat ketika mendengar suaraku mengaduh halus. Aku memaksakan senyum yang mungkin tidak terlihat olehnya. Kugeser tubuhku dengan susah payah agar ada ruang yang cukup untuk kakiku. Aku takjub dan kehilangan suara ketika menyaksikan lelaki itu melepas sepatuku dengan hati-hati. Belum pernah ada orang yang pernah melepas atau memakaikan sepatuku kecuali para pengasuhku saat kecil dulu.

"Mana yang luka?" tanyanya lembut. Tubuhnya membungkuk ke arahku. Aku menggeleng.

"Aku nggak tahu," balasku. "Kakiku kayaknya terkilir. Lutut dan pahaku perih," kataku pelan. Diam-diam aku bersyukur karena pakaian yang cukup tertutup ini berhasil melindungi tubuhku. Hanya di sekitar belahan rokku yang tidak aman. Karena kulitku bersentuhan langsung dengan aspal. "Bahu dan lenganku sakit juga. Nyeri, mungkin karena tadi ditarik," imbuhku.

"Sebentar ya."

Lelaki itu menghilang sejenak, membuka bagasi mobilnya dan kembali dengan sebuah kotak P3K. Aku kembali menggeser tubuhku dengan perlahan karena lelaki ini ingin duduk di sebelahku. Dengan cekatan dia membuka kotak yang dibawanya. Di bawah lampu mobil yang cukup terang, dia membubuhkan betadine pada kapas bersih. Tanpa bicara aku menyingkap rokku dan menunjukkan lututku. Benar, ada luka cukup besar di sana.

"Mungkin agak sedikit perih."

Lalu dia mulai menempelkan kapas di lukaku. Aku merinding merasakan tiupan napasnya di lututku. Saat itu juga air mataku runtuh tanpa bisa dicegah. Dia mendongak dan tampak cemas.

"Sakit, ya? Aduh, maaf."

"Bukan. Nggak sakit, kok," isakku dengan bibir tersenyum.

"Tapi, kenapa kamu nangis?"

Aku menghapus air mata di pipiku dengan punggung tangan kananku. "Nggak ada apa-apa. Air mataku memang sering keluar di saat yang nggak tepat. Maaf," kataku asal-asalan.

Bibir lelaki itu melukiskan seulas senyum. Lalu dia kembali berkutat dengan lukaku. Aku menyandarkan diri di jok mobil dengan perasaan nyaman yang aneh. Seharusnya, saat ini aku merasa takut karena berada di dalam mobil pria yang sama sekali tak kukenal. Nyatanya, yang kurasakan justru sebaliknya.

"Boleh aku pinjam ponselmu?" tanyaku tiba-tiba. Lelaki itu menyerahkan sebuah ponsel seri terbaru dari pabrikan besar asal Amerika yang sedang populer, tanpa bicara. Buru-buru aku memencet sederet angka.

"Hei, kamu di mana? Aku barusan udah nyusul ke lobi, tapi kamu nggak ada. Semua kebingungan. Jangan bilang kalau Krishna bikin ulah! Aku pasti...." suara panik Kimi menyambutku begitu aku mengucapkan salam dan mengaku meminjam ponsel seseorang.

"Aku nggak apa-apa," tukasku memotong kalimatnya yang pasti masih berekor panjang. "Kalian pulang duluan aja. Nanti aku nyusul."

Ya, aku tidak mau ada yang melihatku dalam kondisi seperti ini. Aku tidak ingin ada banyak spekulasi yang nantinya bisa merepotkan. Atau menimbulkan fitnah-fitnah dan kehebohan lainnya. Aku juga sedang tidak ingin memberi penjelasan apa pun. Meski saat ini aku belum benar-benar menemukan cara untuk kembali ke Bogor dengan aman.

"Nggak bisa! Aku bareng kamu kalau gitu, ya?" bantah Kimi.

"Jangan! Percaya, aku nggak apa-apa. Kalian duluan aja. Please Kim, aku nggak mau ada yang curiga. Nanti aku ceritain semua, ya?"

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang