Cinta Sehangat Pagi [2]

6.3K 1K 42
                                    

Bernapas adalah sesuatu yang alamiah. Namun saat itu mendadak aku merasa dadaku sesak. Aku lupa caranya menghimpun udara dan mengembuskannya lagi.

"Kim, bilang kalau aku nggak lagi mimpi. Betul itu Edgar, kan?" bisikku sambil meremas tangan Kimi dengan gugup. Kimi mengangguk sambil tertawa kecil. Dia memegangi lenganku, mengajakku kembali melangkah.

"Kim, kamu dengar suara itu, nggak?" tanyaku dengan suara lirih.

"Suara apa? Suara setan di kepalamu?" tanya Kimi usil.

"Bukan, suara jantungku. Aku takut dia bisa..."

Kimi terkekeh geli. "Astaga, nggak ada yang bisa dengar suara jantungmu itu. Udah ah, jangan norak gitu! Rileks, tarik napas."

Bicara tentu mudah. Namun melakoninya jauh lebih sulit. Aku mencoba tersenyum saat melihat Edgar mendekat. Wajah menawannya berbinar seperti matahari pagi di bulan Agustus. Raksasa ini begitu menyedot perhatian.

"Hai, Lea. Kakimu gimana? Udah mending?" tanya Edgar penuh perhatian. Tangan kanannya mengangsurkan sepatuku. Sebelum aku meraih benda itu, Kimi sudah lebih dulu menyambarnya.

"Udah," jawabku pelan. "Kamu datang jauh-jauh cuma untuk ngembaliin sepatuku?" tanyaku tak enak hati. "Makasih ya, aku ngerepotin kamu terus. Padahal kamu nggak perlu balik ke sini lagi gara-gara sepatuku. Kirim aja lewat pos atau jasa titipan kilat. Nanti kuganti semua biayanya," cerocosku.

"Trus jumlahnya ditotalin sama tagihan nasi goreng tadi malam," celetuk Kimi. Pipiku panas seketika.

"Nasi gorengnya gratis, kok," balas Edgar santai. Lelaki itu berjarak dua langkah di depanku. Dia hanya mengenakan celana jeans abu-abu dan kaus warna cokelat, tapi membetot fokusku. "Tapi kamu tetap punya utang sama aku meski nggak perlu bayar pakai uang," imbuhnya sembari membenahi kacamata dengan tangan kiri.

Aku yang seumur hidup tidak pernah merasa pendek, kini harus mendongak di depan Edgar. Aku teringat kata-katanya tadi malam. Aku dua kali menggendongmu. Kamu berutang sama aku. Nanti aku pikirin cara bayar yang paling tepat.

"Dia udah siap untuk bayar utang," kata Kimi sambil mendorong punggungku dengan gerakan lembut. Aku menangkap nada geli dalam suaranya. "Aku titip Leala, ya?"

Aku melotot ke arah Kimi, tapi cuma disambut dengan cengiran jail. Lalu, sahabatku malah sengaja meninggalkanku dan Edgar sambil membawa sepatuku. Dia juga mewanti-wanti agar aku berjalan dengan hati-hati. Aku akhirnya cuma bisa menatap Edgar dengan tak berdaya. Sungguh, ini kali pertama aku tak tahu bagaimana seharusnya bersikap di depan lawan jenis. Aku sangat ingin mengucapkan kalimat cerdas yang bisa mengamuflase kegugupanku. Sayang, otakku terasa kosong melompong.

"Aku harus bayar pakai apa?" tanyaku pelan. "Uang memang bukan segalanya. Tapi jauh lebih gampang kalau utang budi bisa ditebus dengan uang. Itung-itungannya jadi lebih simpel."

Edgar tertawa geli. "Jangan mikir yang aneh-aneh! Nanti otakmu kena virus." Dengan ringan dia mengetukkan jarinya di keningku. Aku tercekat sebagai efek dari gerakan sederhana itu. Aku tidak tahu seperti apa rasanya jika ada kupu-kupu memenuhi perutmu, seperti yang selalu tertulis di novel-novel roman. Yang pasti, aku merasakan perutku mulas, dengan kaki seolah tidak menjejak tanah.

"Kamu bisa bayar utang dengan cara sederhana. Cukup menemaniku seharian ini. Gimana? Mau?"

Aku mendesah, "Kakiku..."

"Mau apa nggak?" desaknya. "Aku cuma merasa, ada hal-hal tertentu yang sebaiknya nggak ditunda-tunda. Karena takutnya malah menyesal seumur hidup," imbuh Edgar mengejutkan.

Aku terpana sambil menatap wajah menawan di depanku itu dengan segenap keberanian yang kupunya. Kami terdiam dan hanya berpandangan. Baru kali ini aku merasakan sendiri bahwa tatapan bisa mewakili berjuta kata. Edgar maju dua langkah dan meraih lengan kiriku. Tanpa bicara, kami berdua berjalan pelan menuju mobilnya. Aku masih terpincang-pincang.

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang