Fixing a Broken Heart [2]

7.2K 1K 20
                                    

Aku makin yakin bahwa kecantikan tidak melulu membawa kebaikan. Kecantikan bagi seorang perempuan adakalanya mirip sebuah kutukan yang mengerikan. Berapa banyak orang yang berpendapat bahwa gadis cantik itu sudah pasti bodoh? Sangat banyak, jika tidak mau dibilang mayoritas. Itu adalah pelecehan terhadap kecerdasan.

Aku sendiri melihat bahwa fisik yang menawan seseorang seringkali dianggap sebagai alat untuk menggoda laki-laki. Kelebihan jasmaniah justru membuat seorang gadis harus siap menghadapi berbagai bentuk pelecehan dan gangguan dari lawan jenisnya. Laki-laki merasa berhak melakukan banyak hal pada perempuan. Mulai dari suitan nakal, hingga gangguan yang lebih serius.

Dulu, aku tidak pernah menganggap serius masalah fisik ini. Terutama ketika masih kelas satu SMU. Saat itu rambut kriwil-ku tidak pernah melewati bahu. Aku lebih mirip anak laki-laki. Aku pun gemar naik motor kakakku dan berpanas ria sehingga menghitamkan kulitku. Bedak bayi adalah senjata utamaku. Lipstik membuatku merasa mual dan ingin muntah.

Mama dan Papa cemas. Mereka memaksaku mengikuti sekolah kepribadian. Tentu saja aku menolak mentah-mentah. Namun itu berarti aku harus mulai belajar menampilkan sisi perempuanku. Memanjangkan rambut dan mengurangi kelayapan naik motor, misalnya.

Sejak kelas tiga SMU, aku juga terpaksa berakrab ria dengan kegiatan berdandan. Lipgloss dan lipstik (yang mulai kukenal setelah menjadi mahasiswi), contohnya. Aku terpaksa mengaplikasikan benda-benda itu di bibirku meski awalnya membuat mulutku susah dikatupkan. Waktu itu Kimi sempat menertawaiku.

"Lea, coba deh jangan mirip ikan lagi sekarat kayak gitu! Ekspresimu itu nggak banget, tahu!"

"Lipgloss-nya bikin bibirku kerasa aneh. Kayak ada yang mengganjal, Kim," aku membela diri.

"Itu cuma perasaanmu aja karena memang belum terbiasa."

Aku juga belajar mengenakan sepatu bertumit tinggi dan kakiku sempat terkilir sebagai akibatnya. Meski menurut pendapatku yang masih harus diragukan objektivitasnya, tinggiku sudah memadai. Aku tidak butuh mengenakan sepatu dengan sol bersenti-senti. Namun Mama memaksa.

Imbas dari kemampuan berdandanku yang membaik, pujian dari lawan jenisku tidak lagi menjadi sesuatu yang asing. Banggakah aku? Kadang. Aku adalah cewek normal yang merasa senang ketika ada yang memberi komplimen. Namun seiring berjalannya waktu, aku makin sering merasa risih. Apalagi pujian-pujian itu kerap diikuti dengan tatapan misterius yang membuat bulu tanganku berdiri.

Maksudnya tatapan yang membuatmu ingin segera berubah menjadi uap air saking jengahnya. Tatapan penuh hasrat buta yang mengerikan. Seperti yang pernah ditunjukkan Krishna dan Aldy. Seiring waktu, pengalaman membuatku berpikir bahwa kecantikan adalah sebuah kesalahan fatal dalam hidup ini. Terlalu banyak yang ingin memanfaatkannya.

Peristiwa dengan Aldy menjadi hal menggegerkan. Aku menepati janji kepada dosenku itu, benar-benar melapor kepada pihak yang berwajib. Aku juga sengaja mempermalukan lelaki itu di kampus. Kimi mendampingiku, ikut memaki dosen favorit para mahasiswi fakultas hukum. Entah bagaimana, Aldy dan mamaku malah membuat kesepakatan tanpa sepengetahuanku. Hal itu membuatku kian murka dan memantapkan keputusan untuk indekos.

Aku merasa tidak mendapat dukungan terpenting dari keluargaku. Mama dan Papa seharusnya membelaku mati-matian karena ada laki-laki bejat yang coba merendahkan putrinya. Nyatanya, atas nama rasa malu karena enggan menjadi perbincangan publik, Mama setuju untuk tidak melanjutkan proses hukum yang sedang berjalan.

Ketika aku putus dari Krishna, Jordy segera beraksi. Marcus pun sama hanya saja dengan cara yang lebih halus. Keduanya kuabaikan tanpa perasaan. Salah besar jika mengira seseorang yang baru mengakhiri hubungan asmara, menjadi rentan dan mudah digoda. Yang benar saja!

Akan tetapi, apa yang terjadi antara aku dan Aldy direspons lebih parah. Seakan menjadi lonceng yang menempel di tubuhku dan berdentang nyaring tiap kali aku berjalan. Lonceng yang membuat teman-teman sekampusku berhormon testosteron menumpukan perhatian kepadaku.

Mereka kian mirip dengan hiu yang mencium aroma amis darah. Seakan ingin berlomba menunjukkan bahwa mereka pun layak dijatuhi perhatian. Sepertinya, tindakanku untuk mempolisikan Aldy malah "meningkatkan" misteri seorang gadis muda bernama Leala ini.

Sungguh, aku merasa makin muak, tidak bisa memahami cara otak mereka bekerja. Kenapa harus aku yang mereka dekati? Aku bukan orang yang senang mendapat atensi berlebihan. Aku tidak pernah merasa tersanjung karena dianggap sebagai primadona, misalnya. Namun, penolakanku justru memicu rasa penasaran. Seolah aku adalah objek yang menarik untuk ditaklukkan. Bah!

Tahu bahwa tidak bisa melakukan apa pun untuk menghindar dari situasi yang membuatku tak nyaman, aku memilih fokus pada hal lain. Hidupku. Aku mengabaikan terang-terangan para cowok yang mencoba menggodaku hingga mereka mulai mundur teratur.

Sebenarnya, pandanganku tentang profesi sebagai seorang SPG masih belum bergeser. Mereka terpaksa setuju untuk "dipajang" dengan sengaja demi menarik minat pembeli. Sayangnya, saat ini aku justru membutuhkan pekerjaan tersebut. Karena aku tidak melihat peluang lain untuk mencari uang.

Kamar yang kutempati bersama Kimi, cukup nyaman. Ukurannya lumayan besar meski tak seluas kamarku di rumah, dilengkapi sebuah kamar mandi yang bersih. Kamar ini juga dipasangi pendingin udara sehingga mampu menghalau udara panas yang makin merajalela di Bogor. Letaknya cukup strategis bagi kami karena tidak terlalu jauh dari kampus. Kimi pun bisa menuju agensi SPG yang menaunginya hanya dengan sekali naik angkutan yang menghabiskan waktu kurang dari sepuluh menit.

Sejak indekos, mau tak mau aku kian menyadari kedekatan Kimi dengan kekasihnya. Ravel sepertinya orang yang tepat untuk sahabatku. Mereka tampak saling melengkapi. Aku tidak bisa membayangkan laki-laki itu melakukan hal-hal menjijikkan seperti Donnie. Namun, entahlah, siapa yang bisa menjamin itu takkan terjadi. Sisi sinis dalam diriku sudah bertumbuh sedemikian rupa setelah melihat apa yang terjadi pada orangtuaku.

Meski begitu, aku tetap berusaha menilai Ravel dengan tatapan positif. Setidaknya, aku yakin laki-laki satu itu punya perhatian berlimpah untuk Kimi. Bahkan mungkin cinta. Sayang, Ravel sudah beristri. Laki-laki itu tidak mungkin seenaknya bercerai dari pasangannya hanya karena menyukai gadis lain, kan? Apalagi menurut Kimi, Ravel sungguh mencintai istrinya.

Ravel berkantong tebal, itu pasti. Saat ini Kimi terang-terangan memaparkan jika dia membutuhkan biaya yang besar untuk membantu keluarganya. Keduanya saling memanfaatkan. Namun tiap kali melihat interaksi keduanya, membuatku meyakini ada cinta yang terlibat. Bukan melulu berhubungan dengan uang dan libido.

Aku tidak pernah bisa memahami cinta seperti itu. Mungkin suatu ketika nanti, tapi tidak sekarang. Ketika idealismeku tentang asmara sudah luntur. Ketika aku bisa lebih mengerti hal-hal lain di luar perasaan semata. Di mataku, apa yang terjadi pada Kimi dan Ravel terlalu ruwet.

Kini, aku yang belum bisa memejamkan mata, memandangi wajah menawan sahabatku yang sedang terlelap. Setelah tahu apa yang pernah dialaminya, aku selalu merasa sedih saat diam-diam menatap Kimi. Dari luar dia tampak bahagia. Namun aku sadar ada beban berat yang harus dipikulnya. Seberapa berat, hanya dia yang tahu.

Aku mengubah posisi tubuhku. Kini aku terlentang, menghadap langit-langit kamar indekosku yang dicat warna putih. Kantuk masih jauh dariku. Entah apakah aku bisa percaya pada sesuatu yang namanya cinta ini. Kurasa, saat ini prioritas dalam hidupku sama sekali tidak berkaitan dengan urusan perasaan.

Jika memungkinkan, aku ingin hidup di duniaku yang nyaman. Buana tanpa lelaki yang menatapku dengan penuh "semangat". Tempat di mana keberadaan seorang perempuan tidak semata diukur dari penampilan fisiknya saja. Saat cinta memang benar-benar bisa diandalkan tanpa harus ada pamrih di baliknya.

Akan tetapi, mungkinkah?

Besok aku mulai menjalani tes untuk menjadi SPG. Aku tidak pernah tahu, jika langkahku ini akan mengubah hidupku untuk selamanya. Membuatku melakukan hal-hal tabu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Lagu : Trouble (Coldplay)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang