My Better Half [1]

5.8K 980 17
                                    

Aku hanya menginap semalam di rumah sakit. Selama itu, Edgar menepati janjinya, tidak beranjak dari sisiku. Kekasihku itu tak peduli meski dimarahi perawat karena tidur di ranjang perawatan denganku. Ranjang yang sempit memang tidak nyaman bagi kami berdua. Namun aku sama sekali tidak peduli. Edgar yang memelukku sepanjang malam mampu meredakan rasa takut yang menghantuiku.

Aku mungkin cewek yang sudah memiliki pengalaman tak biasa seputar urusan ranjang. Namun membayangkan Krishna yang berusaha memaksakan dirinya padaku, membuat bulu kudukku meremang. Masalah seks yang dipaksakan akan berakhir dengan trauma hebat yang mustahil terlupakan seumur hidup.

Begitu keluar dari rumah sakit, aku segera menemui orang yang sudah menolongku. Gadis sebayaku itu baru pindah beberapa minggu silam. Namanya Tessa. Aku hanya pernah berpapasan dengannya sekitar tiga kali, saling mengangguk sopan.

"Aku baru turun dari mobil pas ngeliat cowok itu memapahmu. Aku memanggilmu tapi kamu sama sekali nggak menyahut. Aku curiga kamu pingsan, Lea. Cowok itu bilang, kamu mabuk. Aku nggak percaya gitu aja. Kalaupun kamu memang mabuk, harusnya diantar ke kamar kos, kan? Bukannya malah mau dibawa entah ke mana.

"Apalagi cowok itu buru-buru mau masuk mobil. Aku akhirnya teriak, minta dia berhenti. Pacar dan teman-temanku buru-buru keluar mobil, semuanya ada lima orang. Mungkin karena merasa dia nggak bakalan menang, cowok itu malah mendorong kamu ke trotoar sebelum buru-buru pergi. Untungnya aku sempat mencatat nomor polisnya," urai Tessa panjang, menceritakan kronologis peristiwa mengerikan itu.

Aku menggumamkan terima kasih berkali-kali untuk pertolongannya. Gadis itu memegang lenganku, menatap mataku dengan serius.

"Hati-hati ya, Lea. Semoga kamu nggak ngalamin hal-hal kayak gini lagi. Untungnya kamu nggak luka karena didorong gitu aja ke trotoar."

"Iya, pasti itu. Aku bakalan hati-hati banget," janjiku pada Tessa.

Krishna harus berhadapan dengan hukum untuk semua tindakannya padaku. Sementara Kimi melakukan hal yang tak pernah kuduga. Sahabatku nekat mendatangi rumah dan kantor Krishna untuk membeberkan kelakuan buruk cowok itu. Aku yang tahu belakangan, benar-benar shock.

"Ngapain kamu sampai datang ke rumah dan kantornya?" tanyaku ingin tahu.

Kimi menjawab dengan penuh tekad. "Supaya dia dapat pelajaran. Paling nggak, dia dipecat dari kantornya sekarang. Lagian, biar keluarganya tau betapa berengseknya Krishna."

"Kimi...."

"Kamu kan tau sendiri gimana masalah hukum di sini. Dengan latar belakang keluarganya, masalah kayak gini bisa selesai tanpa kejelasan, Lea. Aku nggak yakin Krishna bakalan dipenjara lama. Ujung-ujungnya palingan damai atau bebas gitu aja. Enak amat!"

Kata-kata Kimi terbukti benar. Tidak ada kelanjutan kasus yang membelit Krishna. Kimi yang beberapa kali menghubungi pihak kepolisian pun tidak mendapat titik terang. Puncak kekesalan Kimi ditunjukkan dengan mengunggah foto mantan pacarku itu di media sosial miliknya sekaligus menjelaskan apa yang sudah dilakukan cowok itu.

"Kim, kamu bisa kena kasus hukum kalau kayak gini. Krishna bakalan nuduh kamu melakukan pencemaran nama baik atau semacamnya. Kayak nggak tau aja kalau sekarang ini postingan di medsos bisa berujung di penjara," kataku cemas begitu tahu apa yang dilakukan sahabatku. "Hapus, Kim. Please."

Kimi menolak mentah-mentah usulku. "Aku nggak peduli kalau akhirnya ditangkap polisi. Udah kubilang Lea, Krishna itu harus dibikin kapok. Biar nggak pernah lagi ngelakuin hal gila kayak gitu sama siapa pun."

Aku mencemaskan Kimi luar biasa. Namun Krishna ternyata tidak melakukan apa pun sebagai respons. Cowok itu seolah lenyap begitu saja ditelan kabut.

Apa yang kualami ternyata tak cuma membuat bulu kudukku meremang atau memicu kemurkaan Kimi. Melainkan juga menyebabkan kekasihku merasa cemas luar biasa. Untuk pertama kalinya, Edgar yang tak pernah mencampuri urusan pekerjaan, mulai memintaku untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan yang sebaiknya kubuat.

"Kamu mungkin harus mikir ulang soal jam kerjamu, Lea. Maaf ya, aku bukannya mau jadi pacar yang posesif atau serba ngatur. Aku cemas dan nggak mau kamu mengalami hal-hal buruk lagi. Kamu bisa ganti jadwal, kan. Atau kuliah lagi? Kalau tertarik untuk kerja kantoran juga nggak ada salahnya."

Aku pun sudah memikirkan hal ini. Kimi bahkan sudah bicara dengan Mbak Zoe dan meminta supaya tidak mengikutsertakanku jika ada pekerjaan shift malam lagi.

"Kamu kan tau selama ini aku memang udah lebih banyak ngambil shift siang. Kemarin itu sifatnya insidental. Aku juga nggak nyangka bakalan kayak begini ending-nya."

Edgar memeluk pinggangku dengan tangan kanan, menarikku sehingga mendekat ke arahnya. Kami berdua sedang berdiri bersandar di mobilnya. Setelah makan malam dan mengobrol panjang seperti biasa, kami masih mencuri waktu untuk bersama. Padahal saat ini sudah lewat pukul sepuluh malam dan Edgar harus berkendara ke Jakarta.

"Aku kayaknya nggak bakalan tertarik kerja kantoran atau kuliah lagi," cetusku. Aku menyandarkan kepala di bahu kanannya. Sementara kedua tanganku memeluk pinggang Edgar.

"Rencana untuk bikin butik, gimana?"

"Masih belum ada kata sepakat sama Kimi. Dia pengin jalan yang mudah sedangkan aku sebaliknya. Aku udah mikirin konsepnya dengan detail."

"Apa mungkin kebentur masalah dana?" tanya Edgar hati-hati.

Aku mengulum senyum. "Nggak, bukan soal uang. Modal kami rasanya lebih dari cukup," aku bersuara.

Di sebelahku, Edgar membenahi letak kacamata dengan tangan kirinya. "Aku bisa membantu kalau ada masalah, Lea. Apa pun itu."

"Aku tau," responsku. "Dan aku pasti ngomong kalau butuh sesuatu. Kamu jangan dikit-dikit selalu cemas. Aku baik-baik aja, Ed. Aku bisa ngurus diri sendiri."

Aku mendengar Edgar tertawa pelan. "Ya, soal itu nggak akan diragukan lagi. Kamu punya jalan keluar hebat kalau udah nggak kuat menanggung masalah."

Aku menukas cepat, "Nangis mirip bayi sampai terancam dehidrasi."

"Ya," Edgar setuju. Aku merasakan kecupan di rambutku.

"Kenapa kamu betah ngeliat aku nangis, Ed? Padahal sejak pertama kita kenal, hal pertama yang kulakukan adalah nangis."

"Aku suka semua yang ada sama kamu, Lea. Termasuk bagian nangis kayak bayi itu," jawabnya kalem. "Semua yang melekat sama kamu itu udah pas. Aku nggak mau mengubah apa pun karena itu memang tak perlu."

Aku mendesah. "Udah deh, nggak usah ngegombal melulu. Katanya nggak jago ngerayu, tapi makin ke sini kamu tuh selalu bikin aku melambung. Nggak sehat banget untuk mental."

"Aku nggak ngerayu," Edgar membela diri dengan suara tawa memenuhi suaranya. "Kamu tuh yang selalu kesulitan bedain aku ngomong jujur sama ngerayu. Payah."

"Kalau dipikir-pikir, cara kita ketemu itu ajaib, ya? Aku nggak pernah nyangka, pas nyaris celaka malah ketemu kamu. Aku belum pernah ketemu laki-laki yang kayak kamu, Ed. Orang yang bikin aku merasa ... hmmm ... lengkap."

Aku mendengar suara embusan napas Edgar. "Aku nggak sehebat itu, Lea. Aku malah takut bakalan bikin kamu kecewa."

Kalimatnya mengusikku. Membuatku agak mendongak untuk menatap Edgar. "Kok bisa bikin aku kecewa, sih? Gimana ceritanya, tuh?"

"Tiap orang pasti punya cacat atau sisi gelap yang penginnya disimpan sendiri, Lea. Punya rahasia yang nggak berani dibagi sama siapa pun, termasuk orang yang dicintai. Karena kemungkinan besar akan bikin kecewa." Edgar mengetatkan pelukannya. "Itu perumpamaannya."

"Rahasia apa sih yang kamu maksud? Bikin aku jadi cemas beneran," protesku. Mendadak, aku terkenang Reiner. Aku mulai bertanya-tanya, apa reaksi Edgar jika tahu hal-hal busuk apa saja yang pernah kulakukan bersama Reiner?

Lagu : You're My Better Half (Keith Urban)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang