Black Angel [1]

9.2K 1.3K 77
                                    

Aku pulang dari Puncak dengan hati dan wajah yang sama kusutnya. Ini bukan kali pertama Krishna memberi sinyal untuk melakukan sesuatu yang terlarang. Dia sudah berkali-kali mengirim tanda-tanda ke arah sana, tapi selalu kuabaikan. Kukira, Krishna hanya bergurau saja atau aku yang keliru memaknai maksudnya.

Aku meremas tanganku sendiri dengan kasar. Selama ini, atas nama cinta, aku mengabaikannya. Aku berusaha melupakan isyarat Krishna untuk tak sekadar berpacaran, tapi mengombinasikannya dengan hubungan fisik yang dilaknat Tuhan.

"Lea, jangan marah, dong! Sejak tadi kamu diam aja, bikin aku jadi serbasalah." Krishna memegang tanganku yang saling bertaut di pangkuan. Dengan perlahan aku melepaskan genggamannya. Memalingkan wajah ke arah jalanan. Hatiku begitu sakit. Dia takkan berani mencelakaiku jika memang benar-benar cinta padaku, kan?

"Leala...."

"Udah deh, kamu konsen nyetir aja! Nggak usah bolak-balik manggil namaku!" tukasku tajam sambil menantang matanya.

"Lea, kamu benar-benar marah?" Nada suaranya datar. Tidak ada empati, simpati, atau rasa berdosa.

Aku ingin tertawa histeris. Pacarku tidak merasa bersalah untuk apa yang dilakukannya tadi. Tidak merasa perlu meminta maaf untuk kelancangannya. Dan kini malah tampak heran menghadapi kemarahanku. Ya Tuhan!

"Lea..." panggil Krishna lagi. Aku tidak berkenan menyahut. Jika memungkinkan, aku lebih suka dia tidak memanggil namaku selamanya.

Hujan rintik-rintik mulai turun. Mobil yang dikendarai Krishna sudah tiba di Bogor. Hari belum terlalu malam, baru pukul delapan lebih. Macet di mana-mana, suatu hal yang lazim di malam Minggu.

"Kita minum kopi dulu, ya?" Cowok itu menawarkan sesuatu yang tidak pernah kutolak selama jalinan kasih di antara kami terbentang meski aku bukan penggemar kopi.

"Nggak perlu. Aku sudah kenyang banget, bahkan nyaris muntah," sindirku tajam. "Aku mau pulang," tandasku.

Krishna tidak bicara apa-apa lagi. Tampaknya dia pun mulai kesal menghadapiku. Kami membisu sepanjang sisa perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit. Cowok ini sangat menawan, apalagi jika tersenyum. Lesung pipitnya adalah magnet luar biasa yang sangat sakti. Namun ternyata ada kebusukan di bawah kulitnya.

Aku bukanlah orang yang sok moralis. Atau sok alim. Aku mengabaikan jika orang di sekelilingku melakukan hal-hal yang dilarang agama dan dikekang oleh norma. Namun aku membuat pengecualian untuk diriku. Aku tidak ingin melakukan hal-hal bodoh yang akan kusesali kelak. Aku berusaha menjauh dari dosa-dosa yang mestinya bisa dihindari.

Seks pranikah adalah termasuk salah satunya. Krishna belum tentu menjadi suamiku kelak. Aku tidak mau menyerahkan sesuatu yang semestinya menjadi hak tak terbantahkan dari pasangan hidupku.

"Makasih untuk segalanya, Krish. Mulai sekarang, kita putus."

Itu kalimat terakhirku sebelum membanting pintu mobil. Aku tidak pernah membayangkan akan mengucapkan kalimat itu di depan Krishna dengan hati ringan. Tanpa rasa sakit atau penyesalan. Entah ke mana terbangnya perasaan cinta yang kuyakin bergelora untuknya selama ini.

Krishna menyusul dan berusaha menggoyahkan keputusanku. Entah kenapa, aku kehilangan semua respek dan perasaan istimewaku dalam satu waktu. Aku menghadap ke arah cowok itu, menatap matanya dengan tegas. "Kamu nggak akan bisa mengubah keputusanku. Kalau kamu mau membujukku dengan kata-kata manis, percuma aja. Pulanglah!"

"Tapi, kenapa? Apa cuma karena aku ngajak kamu nyewa vila?"

Aku terbeliak. "Cuma katamu? Ya Tuhan! Pulanglah, Krish! Sebelum aku makin kecewa dan kamu tambah marah."

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang