Crazy Little Thing Called Love [2]

6K 1K 51
                                    

Aku menghela napas, entah lega atau malah kecewa. Vienna mendekat ke arahku dan Kimi setelah melambai pada Dinda yang sedang melayani pembeli. Sementara Efri baru datang dari arah dapur.

Vienna lebih muda dua tahun dariku. Dia baru bergabung dengan Medalion sekitar empat tahun terakhir. Dulunya, Vienna pernah menjajaki berbagai jalan untuk menjadi artis. Penampilannya memang cukup mendukung. Hingga pengalaman pahit membuatnya mundur dan banting setir menjadi SPG. Belakangan, dia juga menyambi menjadi guru origami di sebuah tempat kursus.

"Belum ada, Vien. Baru minggu depan," balas Kimi. "Kamu makin kinclong aja," pujinya kepada cewek yang masih bergabung di Medalion itu. Vienna menjadi salah satu pelanggan tetap butik sejak Special One dibuka. Aku selalu menyukai Vienna yang ceria dan seolah tak pernah memiliki masalah dalam hidup.

"Iya, setuju. Kamu makin cakep sekarang. Bikin minder aja." Aku memegang pipi kananku sekilas.

Vienna malah cemberut. "Kalian ngeledek, ya? Aku malah lagi jerawatan." Gadis itu menyibak poninya untuk menunjukkan sebuah jerawat di kening.

Aku tertawa geli. Tangan kiriku menunjuk area dagu. "Jerawatmu itu tau diri banget ya, Vien. Tumbuhnya di kening, bisa ditutupin pake poni. Mana jumlahnya cuma satu. Lha, jerawatku? Ada tiga, di dagu pula. Mau ditutupin pakai apa? Jenggot?"

Vienna mengibaskan tangannya. "Meski mukamu penuh jerawat, tetap aja Marcus sukanya sama kamu, Lea."

Kalimatnya yang tak terduga itu membuatku melongo. Betahun-tahun mengenal Vienna, aku tidak pernah mendengarnya menyebut nama Marcus secara khusus meski mereka berdua saling kenal sejak pembukaan Special One. Di sebelahku, Kimi bersiul usil.

"Ada yang lagi suka-sukaan ternyata," komentar Kimi. Aku hendak menyikut sahabatku tapi cemas akan mengenai perutnya.

"Ralat, Kim. Aku yang suka tapi Marcus nggak. Kami pernah kencan beberapa kali tapi nggak lanjut ke mana-mana. Kejadiannya belum lama, sekitar sebulan yang lalu. Sampai kemudian... Marcus tau masalahku. Nggak lama setelahnya dia bilang sebaiknya kami temenan aja karena nggak akan berhasil. Demi untuk mastiin kalau aku ngerti, dia juga bilang kalau sebenarnya hati Marcus udah ada yang punya. Kamu, Lea."

Jantungku seakan dijepit baja karena kata-kata Vienna. Kimi buru-buru maju untuk membela sebelum aku sempat bicara. "Vien, kalau soal itu, Lea nggak salah, dong! Itu kan urusan kamu dan Marcus. Jangan sampai..."

"Astaga, aku nggak nyalahin Lea, kok! Jangan kira aku datang ke sini karena tiba-tiba benci Lea atau semacamnya. Aku bisa terima penolakan Marcus. Lagian, cewek dengan kehidupan rumit kayak aku, memang nggak cocok sama Marcus. Aku nggak nyalahin siapa-siapa. Cuma, kadang rasanya gimanaaa gitu. Pengin aja dicintai sama seseorang tanpa syarat." Vienna mengedikkan bahu, ekspresinya tampak serius. Tenggorokanku mendadak terasa panas. "Aku jarang-jarang suka sama cowok. Sekalinya naksir, ujungnya malah ditolak. Tapi yang paling nyakitin dan bikin aku kecewa, Marcus itu... apa ya? Entahlah, mungkin aku yang terlalu sensitif. Yang kutangkap, dia hmmm... menghinaku. Eh, terlalu frontal kalau kubilang menghina. Lebih tepatnya mungkin menyalahkan. Karena... yah... aku nggak bisa jaga diri dengan baik."

Uraian panjang Vienna membuatku menahan napas. Tak bisa menahan diri, aku pun menyahut.

"Jangan pesimis, gitu! Suatu saat, kamu pasti ketemu laki-laki yang bisa menerimamu apa adanya, kok! Percayalah, Vien! Lagian, apa yang terjadi sama kamu itu bukan salahmu. Jangan pernah mikir kalau kamu yang harus bertanggung jawab."

Temanku itu menggeleng pelan. Rambut bob sebahunya bergoyang pelan. "Sekarang ini aku nggak yakin, Lea. Laki-laki selalu pengin dapat pasangan yang nggak punya cacat meski daftar dosanya sendiri panjang banget. Cowok itu makhluk superegois," kata Vienna dengan suara melirih.

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang