Beautiful Temptation [2]

6.4K 1K 43
                                    

"Maaf, aku nggak tertarik balikan sama kamu. Kita udah selesai," tegasku berkali-kali. Hingga aku hampir jatuh jenuh mengulang kalimat yang sama.

"Maafin aku, Lea. Aku bersumpah, nggak akan ngelakuin hal-hal yang kamu nggak suka. "

Saat itu kami sedang berada di sebuah kafe trendi di jantung kota Bogor. Suasana di sana cukup riuh karena dipenuhi pengunjung. Aku tidak tertarik untuk membahas masa laluku dan Reiner. Aku bukan orang yang gegabah mengambil keputusan. Ketika aku memutuskan untuk berpisah dari laki-laki ini, itu artinya tak ada lagi yang bisa menahanku.

"Lea, aku serius," kata Reiner lagi. "Aku bukannya nggak berusaha melupakanmu. Tapi aku gagal total. Tiap kali bersama seseorang, aku malah selalu ingat kamu. Nggak ada perempuan lain yang bikin aku tertarik lagi."

Tepat ketika bibirku akan terbuka untuk merespons rayuan Reiner, mataku tertumbuk pada sepasang manusia. Lelaki dan perempuan. Di sana, di salah satu meja kafe, Papa sedang memesrai seorang perempuan muda dengan dandanan seksi.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil langkah menuju meja itu. Kutinggalkan Reiner dan menepis tangannya yang berusaha memegang lenganku. "Selamat malam," sapaku dengan suara seramah mungkin.

Sejoli itu mengalihkan tatapan padaku. Saat itu aku tahu, Papa tidak mengenaliku. Seolah aku cuma orang asing yang tidak pernah bersinggungan dengannya. Papa bersikap formal dan menyapaku dengan "Mbak". Seketika aku merasa hancur. Dadaku terasa dihantam oleh badai pahit yang mematikan. Kukira, tidak ada lagi yang bisa membuatku merasa seperti ini. Nyatanya, aku salah. Ikatan antara anak dan ayah itu tidak pernah benar-benar bisa kumusnahkan.

Aku berusaha mengimbangi apa yang dilakukan Papa dengan menawarkan rokok yang ada di tanganku. Saat itu aku sedang menjadi SPG untuk sebuah merek rokok top nasional. Sikapku ramah dan profesional. Akan tetapi, sepertinya aku tidak bisa menyembunyikan tatapan jijikku pada perempuan muda yang sudah pasti lebih pantas menjadi anak Papa.

Entah apa yang salah dengan Papa, dia tidak tampak terkejut seperti kali pertama kupergoki. Tidak panik, begitu tenang dan tampak alami. Apakah karena sudah bercerai dari Mama dan tak perlu mencemaskan apa pun? Juga karena ketiga anaknya sudah tahu belang sesungguhnya yang disembunyikan kedua orangtuaku?

Mungkin, memang selalu ada sisi kekanakan dalam diri setiap orang dewasa. Karena setahuku Mama pun menjadikan perceraian dengan Papa sebagai tiket kebebasannya. Aku terlampau sering memergoki Mama bersama pacarnya. Yang membedakan mereka mungkin hanya satu : Mama selalu bersama orang yang sama sementara Papa sebaliknya.

Pulang ke tempat indekos, aku menumpahkan tangis. Semuanya mirip bah yang menerjang tiada ampun. Kimi yang hari itu sedang libur dan sempat pergi dengan Ravel, tentu terheran-heran mendapatiku sedang tengkurap di kasur dengan bahu berguncang dan suara isakan yang mengibakan.

"Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?" sahabatku buru-buru memegang bahuku dan memintaku membalikkan tubuh. "Lea...."

"Aku ... aku ... ketemu Papa...." tangisku pecah lagi. Kimi meraihku ke dalam pelukannya. Tangannya menepuk punggungku dengan lembut. Perlakuannya itu justru membuat air mataku menderas.

"Papamu kenapa?" tanyanya hati-hati.

Aku mengeringkan wajahku yang basah dan terasa panas. Kepalaku sepertinya membengkak hingga dua kali dari ukuran normal. "Papa sama cewek, kayaknya lebih muda dariku. Aku ... sengaja nyapa. Penasaran pengin tahu reaksinya. Tapi ... Papa malah pura-pura ... nggak kenal aku. Aku sedih...." suaraku tersendat-sendat ditingkahi isak.

Kimi ternganga. Tentu dia pun shock mendengar kalimatku barusan. Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal, karena Kimi sangat tahu jika dulu Papa begitu menyayangiku. "Serius?"

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang