Cinta Empat Sisi [1]

Start from the beginning
                                    

"Tadi Ravel ngajak ke Jakarta, karena dia pengin ngenalin aku sama istrinya."

Kalimat Kimi begitu mengejutkan hingga aku berseru kencang. "Apa?"

Sahabatku naik ke ranjang, membaringkan tubuh di sebelahku. Hatiku pilu melihat kondisinya. Akan tetapi, aku tahu takkan bisa melakukan apa apa. Matanya membengkak, begitu juga dengan rahang dan bibirnya.

"Awalnya aku nggak mau. Gimana bisa aku ketemu istrinya saat mereka mau cerai? Dikit atau banyak, aku punya andil merusak perkawinan mereka, kan? Tapi Ravel agak maksa. Dia bilang, istrinya pengin kenal sama aku. Ternyata, Ravel udah ngomong tentang kami sebelum mengajukan gugatan cerai. Seberapa banyak, aku sama sekali nggak tau."

Aku mendadak pusing. Seharusnya, Kimi menolak ajakan Ravel. Karena pertemuan istri yang akan diceraikan dengan selingkuhan suaminya takkan berjalan lancar. Namun aku cuma bergumam pelan, "Oh ya?"

"Kalau menurut Ravel, dia cuma bilang udah jatuh cinta sama orang lain. Dia nggak cerita udah berapa lama kami bersama. Tapi hubungan kami jadi salah satu alasan mereka bercerai selain ... entahlah. Aku pernah cerita, kan? Ravel bilang, istrinya nikah bukan karena cinta tapi demi uang. Ravel yang cinta banget sama istrinya. Setelah beberapa tahun nikah dan ngerasa nggak ada perubahan, Ravel ketemu aku. Mungkin itu yang bikin dia merasa nggak akan ada masalah. Karena setau Ravel, Zita nggak cinta sama dia," Kimi mendesahkan nama istri kekasihnya. "Aku sendiri nggak tau pasti, Ravel bohong atau nggak soal rumah tangannya."

Aku memejamkan mata, mulai bisa menebak apa yang terjadi, sekaligus tidak sanggup membayangkan kengerian yang terjadi pada sahabatku.

"Ravel ngajak aku ke restoran. Istrinya datang belakangan. Selama nunggu, jantungku rasanya mau meledak, Lea. Tapi Ravel bilang, semua baik-baik aja."

"Kenapa nggak nunggu Ravel beneran cerai, Kim? Atau sekalian aja kamu nolak ketemu istrinya?" kataku menyayangkan. "Maaf, aku tau kamu nggak bisa nolak maunya Ravel. Nasi udah jadi bubur. Tapi, tetap aja aku jadi ... gemas."

Kimi tersenyum pahit. "Aku tau," bisiknya.

"Jadi, istrinya Ravel yang mukul kamu?" tebakku ngeri.

"Iya. Padahal awalnya baik-baik aja. Ravel ngenalin kami berdua, lalu kami makan malam bareng. Suasananya jelas canggung banget karena aku nggak tau harus ngomong apa. Sampai akhirnya Ravel ngajak aku pulang. Aku lega banget."

Kimi menyipitkan mata. Ada jeda hampir satu menit hingga akhirnya Kimi kembali bersuara.

"Tiba-tiba ada beberapa cewek yang mencegat kami di dekat pintu keluar. Salah satunya menjambakku sampai rahangku kepentok meja. Ravel pengin nolong tapi malah diserang sama istrinya. Ada cewek lain yang ikutan mukulin Ravel. Aku akhirnya cuma terduduk di lantai sambil berusaha nutupin muka. Belum lagi suara makian dan sumpah serapah. Ya ampun, aku nggak pernah semalu itu dalam hidupku, Lea. Sampai akhirnya pihak keamanan restoran berhasil mengamankan aku dan Ravel."

Mendadak, aku membayangkan kami bertukar tempat. Aku yang mendapat serangan dan caci maki dari Nina. Tenggorokanku pun tiba-tiba terasa kering. Itu kemungkinan yang sangat masuk akal. Perempuan mana yang rela berdiam diri saat tahu suaminya mencintai orang lain pada saat yang sama?

Selama ini, aku sudah dengan sengaja membutakan mata dan hati, hanya ingin fokus pada kebahagiaanku. Aku berperang dengan perasaan bersalah yang mati-matian kusembunyikan. Aku dan Kimi hanya bisa mengganggu kebahagiaan orang lain, meski berlindung di balik alasan yang begitu sakral. Cinta.

Sepengetahuanku, hubungan Edgar dan Nina baik-baik saja. Kendati Edgar tak pernah membahas tentang rumah tangganya. Mereka kemungkinan besar jauh lebih bahagia dibanding yang kuduga. Namun, siapa yang bisa menjamin takkan ada kehancuran di masa depan seperti yang menyapu rumah tangga Ravel. Orang ketiga, selamanya akan menjadi duri dalam daging yang mengganggu.

"... tapi Ravel berkeras semuanya akan baik-baik aja."

Aku merasa berdosa karena mengabaikan sahabatku dan terlalu jauh terlena dengan badaiku sendiri. Aku beringsut untuk memeluk Kimi.

"Apa aku egois karena nggak bisa melepas Ravel, Lea? Kamu tau sendiri, dia udah berbuat banyak untukku. Tapi bukan itu yang bikin aku tetap bertahan. Aku cinta sama dia."

Aku pun kian muak pada diriku sendiri. Aku dan Edgar memakai alasan yang sama untuk melegitimasi kekeliruan yang kami buat. "Aku nggak bisa jawab itu dengan objektif, Kim. Tapi yang pasti Ravel dan istrinya udah hampir cerai. Kalau kamu mundur sekarang, malah janggal," kataku masuk akal. "Kalian udah sejauh ini."

Aku tak sanggup bicara lagi. Menghibur Kimi dan membesarkan hatinya malah seolah sedang menusukkan pedang di dadaku sendiri. Kimi masih bicara panjang sambil sesekali menghela napas tajam. Aku ikut merasakan kepedihannya. Akan tetapi, di dalam hati aku justru menangisi kebodohan dan cinta butaku. Serta patah hati yang selama ini coba kulupakan. Yang pasti, kali ini aku mampu membulatkan hati untuk mengambil keputusan penting. Hatiku sudah bulat. Ini saatnya bagiku untuk berhenti. Semua kesalahan dan dosa yang sudah kubuat berkaitan dengan laki-laki, harus berakhir di titik ini.

Lagu : Unfaithful (Rihanna)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinWhere stories live. Discover now