Cinta Tanpa Jeda [1]

Start from the beginning
                                    

Pada detik ini, aku merasa aneh dengan hatiku. Melihat Edgar tersenyum dan tampak bahagia, ada bagian diriku yang merasakan hal yang sama dengannya. Beginikah seharusnya cinta itu? Kamu mengendalikan ego dan keinginanmu demi melihat orang yang kamu cintai bahagia?

"Kamu bodoh!" maki Kimi, membuyarkan lamunanku. "Berdiri berlama-lama di sini cuma untuk ngeliat Edgar tersenyum selebar itu. Ayo, kita pulang sekarang!" Kimi berusaha menarik tanganku, tapi aku malah nekat melangkah maju.

"Sebentar! Dia belum ngeliat aku. Sebentar lagi ya, Kim. Lagian, masa kita nggak ngucapin selamat ke mempelai?" tanyaku dengan nada seringan mungkin.

Kimi sepertinya menganggapku sudah sinting. Itu yang ditunjukkan oleh ekspresi wajahnya saat menatapku. "Kamu becanda, kan?"

"Nggak," tegasku.

"Lea, mending kita pulang sekarang," ajak Kimi.

Namun aku tak peduli pada permintaan sahabatku. Kimi hanya kuhadiahi senyum tipis tanpa bicara apa pun. Perhatianku kembali tertuju ke depan. Hingga kemudian aku melihat senyum Edgar memudar. Dia sudah melihatku.

Aku terpaku selama beberapa detik tapi segera menguasai diri. Kini, ganti aku yang menarik tangan Kimi, berjalan menuju antrean tamu yang mengular. "Kita harus ngucapin selamat sama mempelai. Setelah itu, kita pulang."

Kimi menggeleng pelan, masih mencoba mencegahku menemui pasangan pengantin. "Tadi kamu nggak bilang mau salaman segala. Katanya cuma pengin ngeliat Edgar doang. Udahlah Lea, kita pulang sekarang aja."

Aku tersenyum tipis. "Aku udah bilang, aku akan bersikap baik, kan? Nggak perlu takut aku bakalan menjambak pengantinnya Edgar. Buatku, nggak level berantem fisik gara-gara rebutan cowok."

Kimi tidak terhibur sama sekali dengan kata-kataku. Aku terus berjalan mengikuti arus tamu yang ingin menyalami pengantin di pelaminan itu. Hingga akhirnya Kimi terpaksa pasrah dan mengikuti kemauanku.

"Aku udah berusaha mencegahmu ngelakuin hal-hal bodoh. Aku nggak tanggung jawab kalau nanti kamu pingsan di depan Edgar atau malah memeluknya sambil nangis," kata Kimi dengan suara ketus.

"Itu juga bukan gayaku," balasku setenang mungkin.

Ketika akhirnya tiba giliranku dan Kimi untuk berhadapan dengan pasangan pengantin itu, kakiku terasa goyah saat melangkah. Punggungku dijalari oleh rasa dingin. Mungkin wajahku memucat karena aku bisa merasakan pipiku membeku. Kimi menekan lenganku lebih kencang dibanding sebelumnya, seakan mengingatkanku agar tidak melakukan hal-hal yang tak perlu.

"Selamat ya, Ed. Semoga kamu selalu bahagia." Aku mampu juga melisankan kalimat itu. Edgar tampak begitu pias. Bibirnya menyebutkan namaku meski tanpa suara. Seharusnya, aku juga mendoakan semoga rumah tangganya langgeng. Namun, itu membuatku menjadi orang munafik.

Oh, jangan salah paham! Aku tidak menginginkan Edgar segera bercerai dengan istrinya. Aku hanya tak sanggup memikirkan mereka bersama seumur hidup, berbahagia dengan anak-anak yang kelak meramaikan rumah tangga keduanya. Sementara aku sendirian, sedih dan tak bahagia..

Aku tidak mau berlama-lama berdiri di depan Edgar. Setelahnya, aku beralih pada istrinya. Nina Larasati, begitu nama yang tertera di undangan yang diserahkan Edgar saat mengantarku pulang.

"Aku nggak berharap kamu datang karena itu kejam banget. Cuma ... entahlah. Rasanya kamu berhak dapat undangan juga. Karena kamu orang yang penting buatku." Edgar menatapku dengan murung. "Atau, mungkin Kimi tertarik pengin datang dan mengacaukan resepsinya," gurau Edgar kemarin.

Saat itu, aku tidak merespons dengan kata-kata. Karena kepalaku dipenuhi bayangan Kimi yang sedang membuat acara resepsi Edgar menjadi berantakan. Aku takkan meragukan bahwa Kimi bisa melakukan itu.

Di sisi lain, tidak ada setitik pun niatku untuk mendatangi resepsi pernikahan Edgar. Dia benar, mengundangku ke acara pentingnya adalah hal yang kejam. Namun, hanya dalam hitungan puluhan jam, aku berubah pikiran. Nyatanya sekarang aku berdiri di depan Edgar dan istrinya.

"Foto-foto pre wedding-nya bagus banget, Mbak. Di Jepang, ya?" tanyaku kepada Nina setelah tuntas memberi ucapan selamat.

"Iya, di Jepang. Idenya mendadak, makanya baru difoto minggu lalu," respons Nina ramah. Mataku tertuju pada lengan kiri Edgar yang digandeng pengantinnya dengan mesra. "Maaf, kita kayaknya belum pernah ketemu. Kamu temannya Edgar, ya?"

Aku mengangguk. "Iya," balasku pendek. Sebelum ada pertanyaan baru, aku buru-buru pamit dengan sopan.

Selama beberapa menit yang terasa abadi itu, aku berjuang mempertahankan senyum. Menunjukkan bahwa aku tidak terpengaruh oleh resepsi mewah itu. Setelah berada di mobil, barulah aku menangis. Sejadi-jadinya.

Lagu : How Could An Angel Break My Heart (Toni Braxton)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinWhere stories live. Discover now