My Better Half [4]

Start from the beginning
                                    

Edgar mengambil tas yang kupegang, melemparkannya kembali ke arah sofa, lalu membalikkan tubuhku. Dia kembali memelukku.

"Kamu bikin aku takut," bisikku. "Apa kita punya masalah besar?"

Edgar tak menjawab, dia malah menarik tanganku dan berjalan ke ranjang. Kami kembali duduk bersisian seperti tadi. Sekarang, hatiku yang sempat panas, mulai melembut. Apalagi saat melihat ekspresi tertekan di wajah Edgar. Pria itu menghela napas beberapa kali.

"Kita memang punya masalah besar. Aku ... seharusnya sejak kita ketemu aku udah jujur sama kamu. Tapi, aku nggak sanggup, Lea. Aku terlalu bahagia. Aku lupa kalau hari ini akan datang. Salahku, Lea. Semuanya salahku. Karena aku serakah dan lupa diri." Edgar menggosok pelipisnya dengan tangan kiri. "Oh Tuhan, apa yang udah kulakukan?"

Aku menjadi gemetar. Ada rasa dingin yang asing mulai merayapi punggungku. Namun aku berjuang menenangkan diri. Edgar sudah terlihat panik, aku tidak boleh kehilangan ketenangan. "Ed, jangan bikin aku makin takut! Ayo, ngomong aja! Apa masalah kita?"

Edgar buru-buru memeluk bahuku dengan tangan kirinya, menarikku ke arahnya. Samar-samar aku mendengar bisikannya di telingaku. Sangat lirih.

"Aku punya kesalahan yang nggak akan bisa dimaafkan. Aku berdosa. Aku jahat banget sama kamu. Andai bisa, aku nggak mau kamu tau kebusukanku. Tapi aku nggak punya pilihan. Leala, aku tau kamu pasti akan benci aku seumur hidup. Aku juga benci sama diriku." Edgar berhenti. Aku menunggu dengan dada terasa hendak pecah.

"Leala, andai bisa kembali ke masa lalu, aku pengin kita ketemu sepuluh tahun silam. Kalau itu terjadi, kita nggak akan mengalami semua ini. Kamu nggak akan kecewa sama aku."

Aku semakin bingung. Namun aku hanya mengunci mulutku dalam bisu. Sepertinya Edgar menyimpan banyak kata-kata yang akan diucapkannya padaku. "Jelaskan padaku," pintaku dengan nada membujuk. Aku mengelus punggungnya dengan tangan kiri. Kepalaku bersandar di bahunya.

"Entah apa aku sanggup bikin pengakuan. Rasanya ... sulit banget. Padahal aku udah berlatih berminggu-minggu." Edgar mendesah. "Kamu ingat nggak aku pernah ngomong tentang sisi gelap seseorang yang sebenarnya pengin disimpan sendiri? Saat itu, sebenarnya aku ngomongin diri sendiri. Aku takut karena kamu pasti kecewa setelah tau semuanya. Kita akan hancur, Lea."

Tengkukku kian membeku. Edgar bukan orang yang berlebihan. Jika dia sudah bicara seserius itu, pasti karena memang ada masalah pelik yang menurutnya susah untuk diselesaikan.

"Nggak usah muter-muter, Ed. Kamu cuma bikin aku makin penasaran. Ngomong aja," cetusku.

"Aku...." Edgar terdiam lagi.

Kesabaranku akhirnya benar-benar lenyap. "Aku juga punya rahasia mengerikan. Setelah tau, kamu bakalan pengin menendangku sejauh mungkin. Kenapa kita nggak saling berbagi aja? Mari kita hancur bersama-sama kalau memang itu yang harus terjadi. Ambil ponselmu!" kataku bernada perintah. Edgar menjauhkan tubuh dariku meski tangannya masih berada di bahuku.

Aku merogoh kantong celana jeans untuk mengambil ponsel. "Aku nggak punya stok sabar yang banyak. Kayaknya kalau nunggu kamu ngaku, kita akan berada di sini minimal setahun. Nggak akan kelar. Mending gini, kamu tulis rahasiamu. Aku juga sama. Poinnya aja, nggak usah bertele-tele. Nanti kita sama-sama kirim via WhatsApp. Jadi, bisa menghemat waktu. Gimana? Setuju?"

"Hal penting gini mana bisa dibahas lewat WhatsApp, Lea," balas Edgar ragu. Aku bisa melihat jemarinya gemetar. Namun aku mengulangi permintaanku. Aku ingin menuntaskan semua kebingungan ini.

"Setelah baca pengakuan dosa masing-masing, kita punya waktu sampai besok pagi untuk ngomongin semuanya. Entah sambil marah dan bakar vila, atau dengan kepala dingin," kataku dengan nada sarkastis

Tanpa menunggu jawaban Edgar, aku menulis rahasia yang belum pernah kubagi pada kekasihku ini.

"Aku pernah mendapat banyak uang dan dihujani hadiah dari pacarku. Karena mau menghabiskan malam bareng dia, melewati banyak petualangan seputar seks. Dari yang normal sampai yang menjijikkan. Jadi, aku bukan cewek suci tanpa noda kayak yang mungkin kamu bayangin selama ini."

Kalimatku mungkin kasar dan tidak pantas. Namun saat ini aku tidak bisa menemukan kata-kata yang sopan untuk menjelaskan masa laluku yang busuk. Aku sendiri tidak mengerti kenapa harus membongkar ceritaku dengan Reiner. Kimi pun melarangku mati-matian. Akan tetapi, hari ini aku berubah pikiran. Jika aku memang mencintai Edgar seperti yang selama ini kuyakini, bukankah dia berhak tahu seperti apa Leala yang sesungguhnya?

"Udah kelar?" tanyaku.

Edgar mengangguk. Wajahnya tampak tertekan dan pucat. Aku belum pernah melihat Edgar seperti ini. Hatiku pun tercubit. Tampaknya, Edgar memang tidak main-main dengan semua ucapannya.

"Oke, sekarang kirim WhatsApp-nya," perintahku. Aku memencet tombol panah di sudut kanan bawah sambil memejamkan mata. Kuhalau sekuat tenaga kepanikan yang memukul-mukul dadaku. Aku mendengar denting ponselku, menandakan ada pesan yang masuk. Seketika aku membuka mata dan melihat Edgar sedang membaca WhatsApp yang kukirim. Ekspresinya datar saja, tidak menunjukkan emosi apa pun.

"Aku nggak peduli." Hanya itu jawabannya.

Badai di hatiku yang sejak tadi mengamuk, seketika luruh tanpa jejak. Lelaki ini, yang kucinta sepenuh hidup, membaca pengakuanku dan hanya berkata "aku nggak peduli" dengan tegas. Aku memeluk Edgar seketat mungkin tanpa bicara. Mataku terpejam.

"Kamu nggak mau baca WatsApp-ku? Ini permintaan egois, aku tau. Tapi, maukah kamu nggak lantas benci sama aku apa pun yang tertulis di sana? Kamu mau berusaha maafin aku? Tetap bersamaku?"

Aku menggangguk setelah melepaskan pelukan. "Nggak ada yang bisa bikin aku berhenti jatuh cinta sama kamu, Ed. Nggak ada kesalahanmu yang nggak bisa kumaafin. Kalau kamu bisa terima aku apa adanya, kenapa aku nggak?"

Janji yang baru saja kubuat itu tidak mampu menahan tanganku untuk melempar ponsel ke dinding begitu membaca kalimat yang tertera di layarnya. Di antara semua kemungkinan buruk yang mungkin terpikirkan, takkan pernah sedetik pun aku membayangkan bom berkekuatan mematikan dalam bentuk kalimat pendek tulisan Edgar.

"Lusa aku mau nikah sama tunanganku."

Lagu : Secrets (OneRepublic)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinWhere stories live. Discover now