My Better Half [2]

Start from the beginning
                                    

Ketika aku tiba di kamar, Kimi sedang mandi. Aku bisa mendengar suaranya bersenandung. Diam-diam aku bahagia ketika mengingat kondisiku dengan Edgar. Kami beruntung karena tidak teradang masalah serius seperti halnya Kimi dan Ravel.

Setelah Kimi keluar dari kamar mandi, ganti aku yang membersihkan diri. Aku hanya mencuci muka dan menyikat gigi. Setelahnya, aku juga mengganti gaun selututku dengan baju tidur yang sering dihina Kimi karena sudah lusuh.

"Kamu keliatan banget bahagianya sejak sama Edgar," kata Kimi. Aku yang sedang menyisir rambut dan menghadap ke arah cermin, membalikkan tubuh. Sahabatku sudah berbaring di ranjang.

"Nyolok banget, ya?"

"Iya. Kamu sekarang beda, Lea. Selalu berseri-seri, lebih santai, nggak sinis lagi."

Aku membenarkan kata-kata sahabatku dalam hati. "Edgar itu ... entahlah. Aku ngerasa udah ketemu apa yang kucari. Sekarang aku berani bilang kalau dia itu belahan jiwaku." Aku tertawa sendiri dengan kalimat terakhirku. Kimi tersenyum memandangku.

"Aku juga ngerasa kayak gitu."

Kalimatnya membuatku buru-buru menyisir rambut dan bergabung di ranjang. "Kadang aku takut, ini cuma sementara. Gimana kalau nanti Edgar tau tentang apa yang pernah kulakukan sama Reiner? Kadang aku tersiksa mikirin itu, Kim. Aku berkali-kali hampir cerita sama dia."

"Hei, nggak perlu sejauh itu, Lea! Kita nggak tau gimana nantinya Edgar bereaksi. Sesuatu yang udah nggak bisa diubah, nggak perlu dingat terus. Lagian, nggak ada untungnya kalau Edgar tau, kan? Toh, nasi udah jadi bubur."

"Jadi, menurutmu, aku nggak perlu ngomong soal Reiner?" tanyaku ragu.

"Nggak perlu. Kecuali memang ada kondisi mendesak yang mengharuskan kamu ngelakuin itu," nasihat Kimi.

Aku akhirnya mengangguk. Kali ini, aku setuju dengan Kimi.

"Ravel mau cerai."

Kalimat berita yang diucapkan Kimi dengan suara rendah itu membuatku urung berbaring. Di sebelah kananku, Kimi menelentang dengan mata menatap langit-langit.

"Jujur Lea, aku jadi merasa jijik sama diri sendiri."

"Kenapa?" Aku menepuk bantalku sebelum berbaring menyamping menghadap ke arah Kimi.

"Karena aku senang mereka akan bercerai. Aku jahat, kan?"

Aku tidak tahu harus mengucapkan apa. "Kurasa...."

"Aku udah bertahun-tahun pacaran sama suami orang. Seharusnya, aku berhenti sejak dulu. Tapi aku malah nggak bisa lepas dari Ravel. Sampai akhirnya, dia pengin cerai. Sadar atau nggak, aku pasti udah ngasih dorongan yang bikin dia nekat mengambil keputusan itu."

"Kim, apa...."

"Sori Lea, aku pasti bikin kamu jadi serba salah," tukas Kimi sungguh-sungguh. "Kita nggak usah bahas masalah rumah tangga Ravel lagi." Kimi menoleh ke arahku. "Aku iri sama kamu dan Edgar. Kalian nggak punya masalah pelik yang harus dipikirin. Makanya, kamu nggak boleh menyia-nyiakan Edgar."

Kalimat terakhir Kimi membuatku tertawa pelan. Namun ketika teringat rasa berdosa yang sedang menyandera sahabatku, kegiranganku meredup. "Kim, kurasa nggak ada gunanya kamu ngerasa bersalah karena Ravel mau cerai. Dia udah dewasa, tau apa yang dia mau. Ravel pasti udah mempertimbangkan semua risikonya."

Kimi hanya tersenyum tanpa mengatakan apa pun. Sahabatku malah memilih untuk membahas masalah rencana bisnis kami yang masih menggantung. Kali ini dia mengejutkanku saat bicara, "Aku udah mikir serius belakangan ini. Aku juga sempat minta pendapat Ravel. Kurasa, bikin lini busana kayak yang kamu mau itu memang pilihan cerdas."

Bibirku terbuka. "Kamu akhirnya setuju sama aku?"

"Iya. Karena sekarang aku bisa ngeliat dari sudut pandangmu, Lea. Kamu benar, seharusnya kita memang sejak awal bikin sesuatu yang istimewa, eksklusif. Kita cuma ngejual baju-baju dengan desain cantik dalam jumlah terbatas."

Semangatku pun berlimpah seketika. "Makanya kita harus mikirin segalanya sampai detail. Tapi memang kerjaan jadi lebih banyak. Kita harus milih tim desain, nyari penjahit yang bagus, milih lokasi yang strategis."

Kimi mengangguk setuju sambil tertawa. "Iya, pelan-pelan kita harus nyiapin semuanya. Mau nggak mau, betah nggak betah, udah saatnya kita ninggalin Medalion."

Hatiku mendadak terasa berat lagi. Meninggalkan Medalion adalah hal yang mengusikku belakangan ini. Menjadi SPG, tanpa benar-benar kusadari, sudah menyelamatkan hidupku yang mendadak kacau. Aku memiliki kesibukan yang menyita waktu dan konsentrasi di luar urusan kuliah. Sehingga aku tidak sempat berlama-lama larut dalam kesedihan karena gelombang demi gelombang yang menghantam.

"Gimana kalau nanti kita kangen Medalion, Kim?" kataku kekanakan. Aku akhirnya menelentang di sebelah Kimi. "Tiba-tiba kok rasanya berat, ya? Kita udah terbiasa sama kerjaan sebagai SPG, terbiasa diurusi Mbak Zoe. "

Kimi mendesah. "Wajarlah kalau kita punya rasa cemas, Lea. Karena kita bakal ninggalin zona nyaman. Semua orang pasti ngerasain hal yang sama. Tapi kalau kita nggak punya nyali untuk berubah, ya susah."

Kimi benar. Kami tidak mungkin selamanya jalan di tempat. Waktu terus melaju, melahap masa muda kami tanpa aba-aba. Jika tidak mulai fokus pada masa depan kami mulai sekarang, kapan lagi?

Lagu : Soulmate (Natasha Bedingfield)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinWhere stories live. Discover now