Rainbow of You [3]

Start from the beginning
                                    

"Besok pagi kakimu harus dipijat. Kalau nggak, bengkaknya makin parah dan sakitnya ampun-ampunan."

Aku merinding membayangkan harus dipijat. Digerakkan saja sudah membuatku mengaduh-aduh hingga mengeluarkan air mata. Aku baru hendak bercerita ketika ponsel Kimi berbunyi.

"Bilang sama Ravel, kamu harus ngurus aku dulu. Jam segini masih mau bilang kangen?" gerutuku.

Kimi mengernyit melihat ke layar ponselnya. "Bukan Ravel." Kimi menjawab telepon itu dengan suara datar. Aku bisa melihat wajahnya berubah dan malah keluar dari kamar. Ketika kembali, dia bersenandung.

"Siapa yang nelepon sampai kamu harus berbisik-bisik di luar sana?" tanyaku curiga.

Kimi ternyata ingin menyiksaku. Dia hanya tersenyum misterius dan tidak berminat menjawab pertanyaanku. "Sekarang kamu bisa cerita apa yang terjadi malam ini."

Aku tidak punya pilihan selain memutar ulang semua adegan tadi di kepalaku. Kimi mendengarkan tanpa menyela hingga aku tuntas berkisah. Namun aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang menunjukkan kemarahan dan kegeraman.

"Syukurlah kamu nggak apa-apa. Kaki yang terkilir seribu kali lebih baik," tutur Kimi. "Harusnya Krishna terbakar di neraka selamanya." Kedua tangan Kimi mengepal.

"Aamiin," balasku serius. "Tapi yang paling bikin aku nggak nyaman, dia ngakunya kenal Reiner. Kalaupun memang iya, entah seberapa banyak yang dia tau."

"Nggak usah dipikirin," Kimi menenangkanku. "Meski dia memang tau banyak, bukan berarti Krishna bisa seenaknya memaksamu melakukan hal-hal yang kamu nggak suka." Sahabatku itu mengelus tanganku sekilas. "Kamu kenapa nggak teriak? Biar dia dipukuli massa?"

"Kamu kira aku nggak ngelakuin hal itu?" tanyaku sewot. "Aku teriak berkali-kali, tapi nggak ada yang dengar. Aku menendangnya, memukulnya, sampai kakiku terkilir." Aku menepuk keningku. "Astaga, aku lupa!"

"Lupa apa?"

"Sepatuku."

"Kenapa sepatumu? Hilang?"

Aku menggelengkan kepala. "Sepatuku ketinggalan di mobil Edgar. Itu kan sepatu baru, Kim," keluhku.

"Ckckck," Kimi geleng-geleng kepala. "Apa sepatu itu lebih penting dari keselamatanmu?"

"Bukan gitu! Aku kan...."

"Cowok itu suka sama kamu," gumamnya pendek.

Aku menggeleng. "Mungkin Krishna cuma suka sama dirinya sendiri. Aku nggak ngerti kenapa dia bisa sejahat itu."

"Aku nggak ngomongin Krishna. Yang kumaksud, Edgar."

Wajahku mendadak membara. "Dia baik banget, memang. Tapi ya cuma itu. Lebih masuk akal kalau dia merasa kasihan setengah mati sama aku. Kami mungkin selamanya nggak akan ketemu lagi. Aku udah bikin repot dan cuma bisa ninggalin sepatu baru sebagai kenang-kenangan. Kalau Edgar itu cewek, sepatunya masih bisa dia pakai," celotehku tak keruan.

"Oh, ayolah! Kita kan nggak buta-buta amat soal cowok. Kamu nggak lihat cara dia ngeliatmu, Lea? Menggendongmu? Bahkan pas pamit? Menurutku dia kandidat yang sempurna." Kimi mengedipkan matanya. Senyumnya jail.

Mendadak, aku terkenang peristiwa beberapa jam terakhir ini. Tanganku menutup wajah dan aku mulai menangis. Kimi panik dan cemas. Kombinasi perasaan yang membuatnya melontarkan kata "ada apa" berkali-kali.

Aku mendongak ke arah sahabatku. "Aku benci diriku sendiri. Aku tau nggak mungkin, tapi aku nggak bisa nahan diri. Dia perhatian sama aku. Dia gendong aku, bukain sepatuku, ngobatin luka di lututku, nganterin aku pulang."

Tangisku pecah lagi. Kimi mengelus bahuku dengan lembut. Namun dia tidak menyela sama sekali. "Aku nggak pernah diperlakukan kayak tadi sama cowok. Laki-laki di sekitarku seringnya karena pengin memanfaatkan, bahkan Reiner. Tadi, aku merasa kayak cewek paling penting di dunia ini. Dia ... Edgar nyiapin bantal untukku. Mastiin aku ngerasa nyaman." Tangan kananku mengusap air mata. Entah kenapa aku merasa begitu merana.

"Kamu tau nggak Kim, aku kelaparan di jalan. Dia beliin nasi goreng kambing yang paling enak di dunia. Bahkan nanya apa aku mau yang pedas apa nggak. Aku tadi janji cuma pinjam uangnya, tapi aku lupa bayarnya. Dia bahkan bilang nggak akan nyerahin aku ke supir taksi manapun di dunia ini waktu aku maksa mau naik taksi aja. Aku bahkan nangis di depannya. Dia bilang aku kayak bayi, huhuhuhu..."

Kimi mendengarkan dengan sabar. Aku melihat senyum tipis di bibirnya.

"Trus dia mirip raksasa, tinggi banget. Barusan aku ... aku baru jelas lihat mukanya. Cakep banget, kan? Dia ... pokoknya Edgar sempurna. Sialan, aku suka sama dia padahal aku udah lama nggak pernah ngerasa kayak gini. Dia bahkan bilang kalau dia akan mikirin cara supaya aku bisa bayar utang sama dia. Dia juga bilang, cuma aku yang memanggilnya 'Ed'. Tapi dia nggak keberatan." Makin lama, kalimatku kian kacau. Semua yang tahan sejak masuk ke mobil Edgar tadi pun meruah mirip air bah.

"Aku tahu kamu suka sama dia. Kamu...."

Tepat saat itu telingaku menangkap suara yang sangat kukenal, berasal dari ponselku. "Hapeku mana?" tanyaku kepada Kimi.

"Masih di sini." Kimi meraih tasku yang berada di atas bangku rias.

"Aku benci perasaan ini. Dia terlalu baik, terlalu...." aku mengaduk-aduk tasku dan menemukan sebuah nomor asing di layar ponselku. "Siapa orang gila yang nelepon jam dua pagi?" makiku frustasi. "Kukira telepon penting dari siapalah."

"Jawab dulu," perintah Kimi.

Aku meletakkan gawaiku di ranjang, tak berminat menjawab panggilan dari nomor asing itu. "Kim, kamu dengar nggak sih kata-kataku tadi? Edgar itu orang..."

"Jawab ini!" Kimi meraih ponselku dan memaksakan benda itu ke tanganku. "Ini dari dia. Edgar."

Aku terpana. Mataku menatap layar telepon genggamku lagi. "Mana mungkin dia...."

Kimi mematahkan kalimatku. "Dia yang tadi nelepon aku, nanyain nomor hapemu." 

Lagu : Anyway (Martina McBride)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinWhere stories live. Discover now