Fixing a Broken Heart [1]

Start from the beginning
                                    

"Mama tetap nggak akan ngasih ijin!"

Aku tertawa kecil. "Aku nggak minta ijin. Aku cuma ngasih tahu. Nggak ada yang bisa bikin aku membatalkan keputusanku," kataku sambil mendekat ke arah Mama. "Mama tau kan gimana aku?"

Dari luar, aku adalah anak penurut. Namun di setiap pembuluh nadiku, aku adalah anak pembangkang. Hanya saja selama ini sisi buruk itu tidak terlalu tampak. Aku hanya mengeluarkannya ketika menginginkan sesuatu dengan sangat besar.

"Leala..."

"Kalau kita jarang ketemu, Mama dan aku bisa sama-sama lebih bahagia."

Berselang sehari kemudian, Papa berusaha membatalkan keputusan putri bungsunya. Tebakanku, informasi dari Mama membuatnya buru-buru meneleponku.

"Pa, aku tetap nggak akan bisa dibujuk meski diiming-imingi apa pun! Aku mau kos, demi ketenanganku. Demi ketenangan keluarga kita. Aku nggak mau marah-marah terus." Itu jawabanku.

Akhirnya, aku berhasil pindah tanpa ada drama. Perubahan drastis lainnya adalah mencuatnya keinginan untuk bekerja! Ada bagian diriku yang menolak untuk terus bergantung secara finansial pada Mama dan Papa.

"Kim, gimana caranya nyari duit?"

Kimi menatapku dengan ekspresi tertarik. Ponsel yang sejak tadi dimainkannya, kini diletakkan begitu saja. Gadis itu bangkit dari ranjang dan berdiri di belakangku. Aku sedang menyisir rambutku sambil duduk di depan meja rias. Aku memandang sahabatku lewat cermin.

"Jangan ngomong sesuatu yang bikin aku kesal," ancamku.

Kiki terkekeh bahkan hingga nyaris terbatuk-batuk. "Kenapa tiba-tiba mau nyari duit?" matanya mengerjap jail.

"Oke, aku udah pernah nolak tawaran kerjaan darimu. Tapi sekarang aku berubah pikiran. Aku cuma mau lebih mandiri. Aku nggak mau bergantung sama siapa pun. Kamu lihat sendiri apa yang kualami, kan? Aku pengin kayak kamu, Kim..." cetusku. Lalu aku ingat sesuatu, "Maksudku, pengin mandiri kayak kamu," imbuhku dengan buru-buru. Kulihat Kimi mengangguk.

"Aku tau maksudmu. Aku nggak akan bikin kamu kayak aku."

Aku membalikkan tubuh. Khawatir Kimi menjadi tersinggung. "Maaf Kim, bukan maksudku...."

Kimi tersenyum tipis. Tangan kanannya memegang bahu kananku dengan lembut. "Jangan minta maaf! Aku ngerti maksudmu, kok. Kerjaan yang mudah didapat dengan waktu yang fleksibel ya jadi SPG. Kalau kamu memang mau, mungkin beberapa hari lagi udah bisa mulai."

Aku terperangah. "Secepat itu?" Tangan kananku mengusap leher.

Kimi mengangguk pasti. "Ya, karena selalu ada lowongan untuk SPG. Apalagi sekarang ini lagi ada banyak pameran."

Aku mendesah pelan. "Hmm... kalau lowongan untuk jadi asisten Mbak Zoe?"

Kimi menggeleng lamban. "Sayangnya, udah terisi, Lea."

Tadinya aku berharap bisa mengisi posisi yang pernah disodorkan Kimi padaku sekian minggu silam. "Kukira, posisi itu masih kosong," kataku tak bersemangat.

"Banyak banget yang minat pas tau Mbak Zoe buka lowongan. Jadi, nggak lama setelah aku tawarin ke kamu, udah ada yang jadi asisten baru."

Setengah tak berdaya karena harapanku punah, aku akhirnya berujar, "Berarti, bisanya cuma jadi SPG, ya? Hmmm, susah nggak sih kerjaannya, Kim?"

Sahabatku dengan sabar mengulangi semua promosinya tentang nikmatnya menjadi SPG yang sebenarnya sudah kuhafal. Kali ini, aku mendengarkan uraian Kimi dengan sungguh-sungguh.

"Gimana? Mau jadi SPG? Atau mau nunggu beres kuliah dan jadi pengacara aja?" goda Kimi di akhir penjelasannya.

Aku tercenung sesaat. Menjadi SPG bukanlah karir yang kudambakan, bahkan dalam mimpi terburukku. Namun aku butuh menyibukkan diri dan membunuh waktu. Sekaligus belajar mencari penghasilan sendiri. Jika hanya kuliah, sebagian besar waktuku tidak diisi kegiatan berarti. Akibatnya lagi, aku punya kesempatan untuk memikirkan kerusakan yang sudah terjadi dalam hidupku.

"Okelah, aku nyoba dulu," pungkasku dengan suara kurang meyakinkan. Tampaknya Kimi bisa merasakan kegamanganku.

"Serius, nih?" dia menegaskan.

Aku mengangguk. "Ya. Aku berubah pikiran. Maksudku, sekarang aku tertarik untuk nyoba kerja. Aku butuh hal-hal baru untuk bikin hidupku berbeda, salah satunya soal kerjaan. Aku butuh kesibukan baru di luar jadwal perkuliahan supaya bisa tetap waras."

Kimi tersenyum lembut. Matanya dipenuhi oleh sorot prihatin. "Aku akan selalu mendukungmu. Apa pun keputusanmu, Lea," janjinya.

Aku menatap Kimi dengan haru. Selama ini aku tidak pernah menilai terlalu serius hubungan kami. Tidak pernah memasukkan Kimi dalam daftar "orang paling penting dalam hidupku". Namun, masalah yang kuhadapi telah membuka mataku. Kimi menunjukkan kualitasnya sebagai seorang sahabat.

"Makasih ya Kim. Belakangan ini aku bikin kamu ikutan repot."

Kimi memeluk bahuku. "Itulah gunanya sahabat. Kamu itu orang terdekat dan terpenting di luar keluargaku, Lea."

Kali ini aku tidak bisa membendung air mataku yang melimpah. Menangisi duniaku yang kelam lebam oleh kejutan.

Lagu : Fixing a Broken Heart (Indecent Obsession ft Mari Hamada)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinWhere stories live. Discover now