The Curse of Beauty [1]

Mulai dari awal
                                    

Sejujurnya, aku tidak mengerti betul apa yang sedang terjadi dengan kedua orangtuaku. Mama hanya memberiku kalimat diplomatis yang tidak menjelaskan apa-apa. Aku berakhir dengan tangis perih di kamarku. Berhari-hari, kedua kakakku menelepon untuk menghiburku. Kami bicara bergantian selama berjam-jam. Hasilnya tetap saja tidak membuat suasana hatiku membaik.

Aku tinggal bersama Mama, meski hatiku tidak ingin. Jika menurutkan perasaan, aku lebih suka menetap bersama salah satu kakakku. Apa artinya berada di rumah yang besar jika penghuninya hanya aku, Mama, dan Mbak Gina?

Papa sudah tidak ada di antara kami. Proses perceraian mereka sedang berlangsung. Dan sepertinya tidak akan butuh waktu lama untuk menunggu ketok palu dari hakim. Papa dan Mama sudah menyepakati banyak hal di luar pengadilan.

"Kamu punya masalah apa? Jangan bilang kalau sekarang kamu masih patah hati gara-gara Krishna!" tukas Kimi tak suka. Kami sedang duduk berdua menunggu kuliah yang akan dimulai seperempat jam lagi. Di dekat tempat parkir ada taman yang teduh dengan sejumlah bangku beton. Saat ini suasana taman agak sepi.

"Lea, kamu kenapa?" kata-kata Kimi memutus pikiranku yang melayang-layang tak karuan.

"Aku?" tanyaku heran.

Kimi menggeleng. Matanya tampak lelah karena baru pulang kerja lewat tengah malam. "Iya, kamu! Ada apa sih, sebenarnya? Apa yang sedang kamu tutupi dariku?" tembaknya.

Aku menengadah, menatap langit biru di kejauhan. Napasku terhela dengan berat. "Papa dan Mama mau bercerai..." suaraku nyaris tidak terdengar..

"Ber... cerai..." suaranya menggantung di udara. Kimi seperti terhipnotis.

"Iya. Mereka bercerai dengan alasan klise. Ketidakcocokan atau apalah..." aku tertawa sumbang. "Dan parahnya lagi, nggak ada yang bisa kulakukan," keluhku. Kimi memegang bahuku dengan gerakan lembut.

"Bukan salahmu."

"Apa?"

"Mereka bercerai. Itu keputusan mama dan papamu. Kamu nggak ada hubungannya sama masalah mereka. Kamu nggak boleh menyalahkan diri sendiri."

Aku membuang napas. "Aku harusnya bisa mencegah Mama dan Papa supaya nggak sampai bercerai," kataku keras kepala.

Kimi mengguncang bahuku. Seakan ingin mengembalikan kesadaran dan akal sehatku pada tempat yang seharusnya. Aku menatap sahabatku dengan malas. Aku tidak ingin mendengar kalimat penghiburan atau semacamnya. Bagiku, semua terdengar seperti omong kosong.

"Papa dan mamamu itu orang dewasa yang bisa mutusin sendiri apa yang mereka mau. Kamu kira mereka bisa bertahan hanya demi kamu? Cinta itu bisa kejam banget, Lea! Orang bisa mengabaikan segalanya demi mendapatkan atau melepaskan cinta."

Aku tahu Kimi benar. Hanya saja saat ini aku tidak bisa berpikir jernih.

"Berminggu-minggu ini kamu kelihatan berantakan gara-gara ini?" selidik Kimi.

"Ya," akuku pelan.

"Dan kamu merasa gagal jadi superhero yang bisa mengatasi semuanya sendiri? Nggak mau berbagi sama aku, sok main rahasia. Sampai aku curiga kalau ini semua gara-gara Krishna."

"Aku... entahlah. Aku kacau dan nggak bisa mikir. Soal Krishna, aku malah udah lupa. Nggak penting banget."

Kimi mengecek arloji dan bangkit dengan tergesa. "Udah waktunya masuk kelas. Ayo!"

Kimi menarik tanganku, turut membereskan tasku yang tergeletak begitu saja. "Pulang kuliah kita jalan, yuk! Kayaknya udah lama banget kita nggak pernah nonton atau makan berdua. Hari ini, kita harus bersenang-senang," katanya dengan nada suara bergairah.

Aku menggeleng. "Lagian kamu kan harus kerja," tolakku halus. Aku tidak ingin melakukan hal-hal yang ditawarkan Kimi. Aku tidak ingin melakukan apa pun sebenarnya.

"Kamu nggak ingat kalau aku libur sampai lusa? Pokoknya, kita akan bersenang-senang hari ini. Titik!"

Aku tidak tahu apa yang diterangkan oleh dosenku. Mataku memang menatap ke depan, tapi kepalaku kosong melompong. Itulah yang terjadi sekitar satu bulanan ini. Aku seperti tersesat di dunia yang ramai.

Meski menolak sebisaku, Kimi tetap memaksaku untuk ikut dengannya. Kali ini, Kimi dijemput seorang lelaki dewasa yang menawan. "Dia... Ravel," bisiknya sambil menggandeng lenganku.

Aku menelan ludah. Kilasan pengakuan Kimi berkelebat di kepalaku. Lelaki itu kutaksir berumur akhir duapuluhan. Dia menyalamiku dengan gerakan mantap sambil menyebut namanya. Tubuhnya atletis meski tidak terlalu tinggi. Matanya berwarna cokelat jernih yang kuyakin karena efek soft lens. Senyumnya menawan, sikapnya ramah. Rambutnya tebal berwarna hitam, rahangnya tegas. Serasi dengan Kimi. Kendaraannya pun sangat keren, sebuah BMW model mutakhir.

"Kita nggak mungkin nonton bertiga, kan?" aku membisiki sahabatku. Kimi tertawa geli.

"Ya nggaklah. Dia cuma nganterin kita aja. Tapi aku mau mampir ke butik dulu, ya? Ada baju yang mau kuambil." Kimi mengedipkan matanya dengan jenaka.

Aku mengangguk. Kimi pasti tidak tahu tusukan yang mengganggu dadaku karena kalimatnya. Kimi memang sudah berubah. Dia sekarang berbelanja di butik!

Aku juga menyaksikan kemesraan Kimi dan kekasihnya. Kini, apa yang kulihat benar-benar menunjukkan Kimi versi terkini, berbeda dengan sahabat yang kukenal sejak bertahun silam. Kimi menggandengku memasuki sebuah butik eksklusif yang berada di kawasan Sentul.

"Kamu belanja di sini? Kapan kamu mau beliin aku?" gurauku.

Kimi menoleh dan tersenyum lembut. "Baru kali ini, kok. Ravel mau ngajak aku ke Italia, dia ada urusan bisnis. Dia minta aku nyiapin gaun yang istimewa. Aku udah pesan sejak dua minggu lalu. Hari ini tinggal diambil aja." Gadis itu berbicara dengan suara rendah. "Pertama kali datang ke sini, aku kayak orang kesasar, Lea. Norak banget pokoknya." Kimi tertawa geli. Aku menyembunyikan kekagetan karena berita itu.

"Italia, ya? Ckckckck.... aku boleh ikut?"

Kimi menatapku sungguh-sungguh. "Hei, kenapa nggak terpikir, ya? Tentu aja kamu boleh ikut! Kita bersenang-senang di sana, biar kamu lupa sama semua kejadian di sini," katanya bersemangat.

Aku menggeleng buru-buru. "Gila! Kamu kan pergi sama Ravel. Aku nggak mau jadi kambing congek."

Kimi tertawa lagi. Matanya sempat memandang Ravel yang sedang bertransaksi dengan salah satu pekerja di butik. "Nggak apa-apa, kok! Ini pengalaman pertamaku ke luar negeri. Pengalaman pertama naik pesawat. Duh, aku nggak mau bertingkah norak. Kamu ikut, ya?" bujuknya.

Aku meninju bahu sahabatku. Melihat keceriaannya, bebanku sedikit terangkat. "Nanti aja, kita pergi berdua," kataku.

Butik itu memang mewah, bahkan bangunannya sudah cukup mencolok. Aku bahkan merasa takut untuk berada di sana. Seakan-akan ada sesuatu yang mengancam. Aku merasa tidak aman. Keglamoran yang seperti ini tidak cocok untukku. Entahlah, meski berasal dari keluarga yang berkecukupan, aku dan kedua saudaraku tidak bergelimang kemewahan.

Sejak kecil, Papa dan terutama Mama, mengajari untuk membeli sesuatu yang memang dibutuhkan, bukan diinginkan. Aku dan kakak-kakakku tidak pernah membawa mobil ke sekolah atau kampus, terbiasa menyamankan diri dengan angkutan umum. Mobil hanya digunakan oleh Mama dan Papa untuk bekerja dan beraktivitas.

Kimi masih menggenggam tanganku ketika mataku menangkap pemandangan yang membuatku berdiri dengan tubuh membeku. Satu kejutan lagi yang mencuri napas dan mungkin setengah umurku.

Di sana, di salah satu sudut butik mewah ini, aku melihat seseorang berdiri sambil merangkul gadis cantik yang sedang melihat-lihat deretan gaun yang dipajang. Orang itu, papaku. Dan gadis itu, sepertinya tidak lebih tua dariku!

Lagu : Hurt (Lady Antebellum)

La Samba Primadona (Repost) | ✔ | FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang