Adeera Terluka

2.7K 352 45
                                    

"Ayah, ngga apa-apa?" tanya Rama seraya menoleh, memastikan keputusan yang ayahnya ambil pagi ini adalah benar-benar keputusannya.

"Arah pulang masih sama kok Yah," Rama meyakinkan Bastiar sekali lagi.

Tidak berniat menjawab, Bastiar malah menggenggam tangan Rama semakin erat. Hal yang sejak lama ia lakukan ketika butuh dikuatkan tanpa harus meminta. 

Begitupula Rama yang sudah paham betul dengan isyarat itu, ia hanya menghela nafas berusaha meyakinkan dirinya sendiri dan berdamai dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu.

Sejak dulu, keluarga mendiang ibunya memang tidak bersikap baik dengan Bastiar. Mereka selalu saja mengatakan hal yang tidak pantas, dan menyebut-nyebut ayahnya tidak sebanding dengan menantu yang lain. Hal itu kemudian semakin memburuk ketika ibunya pergi, Bastiar seperti tidak dianggap lagi.

Rama bahkan masih ingat ketika keluarga mendiang ibunya itu mengusir Bastiar yang terpaksa meminjam uang untuk kebutuhan sehari-hari, masa-masa sulit yang membuat ayahnya semakin kuat dan tegar.

"Kak, ada apa sih?" tanya Adeera yang sejak tadi hanya bisa menerka-nerka, Aditya membalasnya dengan gelengan kepala, ia juga belum tahu apa yang terjadi, yang pasti ini bukan sesuatu yang baik.

"Assalamu'alaikum," sapa Bastiar memasuki rumah besar dengan cat berwarna putih, menambah kesan megah. "Ayo, kita masuk."

"Wa'alaikumussalam. Nah ini, tamu jauh sudah datang." Kedatangan mereka disambut oleh seorang perempuan yang diperkirakan usianya terpaut lima sampai tujuh tahun dari Bastiar. Ia tersenyum cerah sekali. "Bastiar, dan Rama. Ayo masuk!" ajaknya.

"Udah lama sekali Rama ngga ketemu bude," perempuan yang bernama Tamara itu menggandeng Rama untuk mendahului. "Gimana kabar kamu? Sudah kelas berapa?"

Rama tersenyum setengah hati. "Dua smp, bude."

Tamara mengangguk. "Pasti paling pintar di sekolah, kayak ibumu dulu."

"Bastiar, bagaimana kabar kamu?" kali ini Tamara menoleh menatap Bastiar.

"Alhamdulillah baik mba."

Tamara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya seperti tidak mau mendengar lebih banyak lagi. Lebih tepatnya ia tidak tertarik.

"Mba,"

"Iya?"

"Ini anak-anak saya juga." Bastiar menunjukkan Aditya, Adeera dan Adiba yang sejak tadi diabaikan. Mereka hanya diam menyaksikan percakapan Tamara dan Rama.

Mata Tamara menyipit, lalu tak lama tersenyum seadanya. "Satu, dua, tiga. Banyak ya Bas anakmu sekarang."

Bastiar mengangguk, tidak sedikit saja senyumnya luntur. "Ini Aditya, Adeera dan Adiba mba."

"Oke," lanjut Tamara, bahkan Aditya tidak yakin perempuan itu sudah mengingat namanya.

Tangan Bastiar menepuk pundak Aditya dan Adeera yang berada di kedua sisinya, berusaha menenangkan. "Bude Tamara ini kakak dari ibunya Rama, aslinya jauh lebih baik. Kita sama-sama penyesuaian ya?"

Aditya mengangguk, ia mengikuti Bastiar untuk masuk. Kalau Bastiar saja bisa beradaptasi dengan keluarganya, mengapa ia tidak bisa? ucap Aditya dalam hati, berusaha bepikir positif.

"Baik dari mana kak?" bisik Adeera tidak setuju.

Tidak seperti Rama yang dengan mudah berbaur, Aditya, Adeera dan Adiba lebih banyak diam. Mereka tidak sesekali menjadi pusat perhatian, bersyukur karena masih memiliki satu sama lain, jadi tidak merasa sendiri apalagi kesepian.

My Other Loveजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें