In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum

139K 14.1K 4.7K
                                    

Rasanya air mataku ini sudah kering akibat menangis semalaman. Aku hanya terbaring lemah di petiduran karena dampak luka ditanganku ini membuat tubuhku demam. Ditambah semalam aku sama sekali nggak bisa tertidur, setiap akan memejamkan mata suara Maemunah yang mempermalukanku di depan umum menggema di indera pendengaranku.

Hatiku semakin hancur lebur saat mengetahui bahwa Leni, sahabatku ikut terlibat dan menambah parah kondisiku. Padahal sama sekali bukan aku yang melakukannya. Perasaanku semakin remuk redam saat nggak ada satu pun dari mereka yang percaya ucapanku. Walaupun sudah aku katakan yang sejujurnya tetap saja bukan kenyataan yang mereka percayai, melainkan keyakinannya sendiri.

Luka di telapak tangan ini membuat mobilitasku terhambat. Aku nggak bisa melakukan apa-apa. Bahkan saat mengambil wudhu setengah mati aku menahan rasa sakitnya. Bisa terbayang kan bagaimana rasanya saat aku melakukan aktivitas lain?

Suhu tubuhku meningkat, tapi yang aku rasakan malah menggigil. Oleh karena itu aku eratkan lagi selimut yang ada di tubuhku.

Jangan sampai Sugus tahu perihal ini. Aku takut kalau ia termakan fitnah itu dan nggak mempercayaiku. Aku takut sekali.

Sepertinya semesta benar-benar nggak berpihak padaku. Selain sakit kepala akibat terlalu banyak menangis, deman, cenat-cenat di bagian telapak tangan yang membuat seluruh tubuhku ikut nyeri, ternyata perutku juga ikut merasakan penderitaan. Aku baru menyadari kalau dari kemarin belum kemasukan nasi sesuap pun. Perutku hanya terisi seliter susu full cream yang ada di kulkas.

Aku bangkit dengan perlahan dan langsung merasakan pusing. Dengan berjalan tertatih-tatih, aku menuju dapur. Benda pertama yang aku datangi adalah kulkas. Aku membuka benda berbentuk balok itu dengan ujung jari telunjuk yang tidak ada lukanya.

Stok makanan di kulkas lumayan banyak. Aku rasa sebelum pergi Umi menyiapkan terlebih dahulu. Akan tetapi dengan kondisi seperti ini nggak mungkin aku membuat sesuatu. Sedangkan kalau harus pergi ke kantin rasanya terlalu malu saat berpapasan dengan santriwati yang lain. Aku harus bagaimana?

Akhirnya aku putuskan untuk membuka rice cooker, dan di sana masih tersisa nasi. Aku hanya makan nasi saja tanpa lauk agar perutku nggak sakit lagi.

Selama makan aku meringis akibat luka yang ada di telapak tangan. Ayah, Bunda, tolong Sashi...

Setelah makan aku mencari obat demam di kotak P3K, untungnya ada benda yang aku cari di sana. Ini pertama kalinya aku minum obat tanpa dihaluskan. Rasanya seperti masih nyangkut di tenggorokkan walau sudah minum banyak.

Kali ini aku bisa terpejam untuk beberapa saat, mungkin karena tubuhku sudah terlalu lelah.

Aku bisa merasakan kehadiran seseorang. Entah sudah berapa lama aku terpejam, aku nggak tahu. Saat membuka mata, hal pertama kali aku lihat adalah senyum Sugus. Berulang kali aku mengedipkan mata, karena demam aku jadi bubur alias halusinasi.

Bayangan Sugus mengelus kepalaku, tapi anehnya begitu nyata. Begitu tangannya turun dan menyentuh keningku bayangan itu bertanya, "Kamu demam?"

Aku mengangguk. Padahal itu hanya bayangan. Sugus nggak mungkin secepat itu kembali, ia bilang akan di sana selama satu minggu.

Aku membawa tangan bayangan Sugus dari kening ke pipi. Hangatnya dapat kurasakan mengalir ke seluruh wajah. Tangan itu bergerak hingga meraih tanganku.

"Aaarrgh!" teriakku kesakitan saat bayangan Sugus mencoba untuk menggenggamku. Aku terbangun dan duduk, bayangan Sugus menatapku penuh keheranan.

"Kenapa?" tanyanya.

Tunggu dulu, kalau hanya halusinasi saja, mengapa terasa sakit saat tangan kami bergenggaman? Mataku berkedip berkali-kali, tapi bayangan itu masih ada, nggak menghilang.

My Coldest GusWhere stories live. Discover now