Eksekusi

121K 13.4K 4K
                                    

Semua mata tertuju padaku saat tuduhan itu melayang. Mereka menatapku seperti singa yang akan memangsa makanannya. Jujur, aku pun bingung, apa yang sebenarnya tengah terjadi.

"Kita harus laporin Sashi ke tim keamanan dan ketertiban," usul salah satu diantara mereka, yang sontak saja langsung aku sanggah.

"Tapi aku nggak mencuri," seruku membela diri. "Demi Allah aku nggak tau kenapa uang itu bisa ada dalam tasku."

"Klise banget alesannya, lagi pula mana ada maling ngaku!" timpal Maura yang diberikan anggukkan setuju oleh semua temanku. "Perlu kalian tau nih ya, Sashi dimasukkin ke pesantren ini karena kasus pacaran dan narkoba," lanjutnya lagi dan membuat gaduh seisi kelas. Ada yang berbisik, ada juga yang terang-terangan mencibir.

Pandanganku dan Fika bertemu. "Fik, gue nggak ngambil uang lo."

"Sorry, Sas, tapi uang itu ada di tas lo. Gua nggak bisa bilang apa apa lagi."

"Pacaran, narkoba, sekarang nyolong duit temannya. IPhone itu juga pasti hasil barang curian tuh," tuduh Maura bertubi-tubi. Rasanya aku mau sumpal mulutnya itu yang setajam silet.

"Mengenai iPhone, itu hadiah ulang tahun dari seseorang. Gue emang dimasukkin ke pesantren ini karena kasus pacaran dan narkoba, tapi yang pakai narkoba itu pacar gue, sedangkan gue nggak pakai barang haram itu!" jelasku yang sudah tersulut emosi.

Aku rasa nggak ada hubungannya antara uang yang ada di tasku dan masa laluku itu. Aku jadi kesal sendiri.

"Mana ada orang ngasih kado puluhan juta gitu. Kecuali kalo lo jual diri ke Om-om. Guys, jangan-jangan si Sashi udah nggak perawan."

Aku nggak bisa diginiin. Aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju Maura yang tengah berdiri di samping Fika.

PLAK!

Tanganku terulur dengan mudahnya untuk menggampar pipi Maura.

"Jaga mulut lo itu sebelum gue sobek sobek!" ancamku padanya.

Ucapan Maura pada kalimat terakhirnya memang benar, tapi aku melakukannya dengan suamiku. Hubungan kami legal dimata Allah, bukan seperti tuduhannya yang bilang kalau aku jual diri. Aku nggak serendah itu. Perkataannya benar-benar menyayat hatiku.

Sepertinya Maura nggak terima aku tampar, wajahnya memerah dan rahangnya mengeras. Dua detik berikutnya dia balas menamparku lagi yang sontak menghasilkan rasa panas dan nyeri di sekitar wajahku. Telingaku pun sampai berdenging beberapa saat.

Belum sempat aku membalasnya lagi, dia lebih dulu menyerangku. Dia tarik jilbabku hingga kepalaku kebelakang, rasanya rambut yang ditutupi jilbab sampai tertarik hingga ke akarnya.

Aku balas menjambaknya lagi. Keributan pun terjadi. Walaupun aku rasakan ada tangan yang memegang tubuhku untuk memisahkan kami, tapi aku nggak peduli. Aku tetap membalas perlakuan buruknya padaku.

"Udah Sas, udah..."

Suara itu aku abaikan. Ini perihal harga diri. Aku nggak bisa membiarkan harga diriku diinjak-injak. Diberikan ilmu agama, ternyata nggak menjamin seseorang bisa menjaga lisannya dengan baik.

"STOOOOPPP! ADA APA INI? KENAPA RIBUT-RIBUT?!"

Suasana mendadak hening. Aku dan Maura yang awalnya saling serang pun melepaskan diri. Jilbabku nampak berantakan, begitu juga dengan jilbab Maura.

Ekor mataku melirik ke arah pintu. Di sana berdiri satu orang dari tim keamanan pesantren yang kuketahui bernama Maemunah. Selama ini dia lah yang paling ditakuti oleh santriwati karena ekspresinya yang menyeramkan juga suara sembilan oktafnya yang membuat gendang telinga hampir pecah.

My Coldest GusWhere stories live. Discover now