Matematika Cinta

127K 10.7K 669
                                    

Sepenggal Kisah Untuk Semesta

Semesta masih kubertanya dalam kediamanku ini, bagaimana caranya melunasi rindu yang kian mengganggu? Bagaimana caranya bertemu, meski jarak tak jua menyatu?

Semesta untuk apa aku bersinar jika bukan bumi yang menerima sinarku ini? Aku diciptakan untuk bumi, bukan? Aku ditakdirkan untuk menemani bumi dan melengkapi kekurangannya, kan?

Semesta bagaimana kabar bumi di sana? Masihkah dia menunggu sinarku? Atau dia sudah lelah menanti malam?

Semesta bumi tahu aku nggak sempurna. Bumi tahu aku nggak bisa bersinar tanpa matahari. Tapi bumi tetap mau menerimaku apa adanya, dan bumi masih menjadikanku satu-satunya yang terindah di jagat raya ini. Cuma bumi yang seperti itu. Cuma bumi yang mampu memperlakukanku seperti itu.

Dari bulan yang merindukan buminya.

*****

"Sashi kamu kenapa?" tanya Dwi saat aku memasuki kamar asrama sambil menangis.

Aku segera menyeka air mata hingga tandas, dan tersenyum ke arahnya seolah semua baik-baik saja. "Nggak papa, Wi."

Dwi menatapku dengan kasihan. Dia pasti mengira aku menangis karena dihukum, bukan karena sugus yang seenaknya memarahiku tanpa alasan yang jelas.

Di bab ini, aku nggak ingin membahas sugus. Mari kita hapus sugus dalam cerita ini, kalau perlu dalam hidupku selamanya.

Aku meraih ember yang berisi pakaianku yang sudah kotor, berniat untuk membersihkannya lagi. "Aku bantu ya, Sas?" tawar Dwi.

"Nggak usah, Wi." Bukannya aku nggak pengin dibantu. Tapi nanti ada ritual khusus di tempat cuci baju dan aku nggak ingin ada orang yang mengetahuinya.

Aku pun kembali ke tempat cuci baju, dan ternyata sudah sepi. Jam segini pasti santriwati yang lain sibuk mempersiapkan diri untuk shalat Magrib.

Melihat tanah yang ada di bajuku, seketika membuat dadaku terasa sesak. Justru rasa itu hadir bukan karena Fika si pelakunya, melainkan dia yang memarahiku tanpa sebab dan nggak mau cari tahu dulu apa yang terjadi. Aku mengeluarkan seluruh pakaianku dari ember, menyalahkan keran, kemudian berjongkok di bawahnya.

Aku menggosok-gosok bajuku dengan kencang sebagai pelampiasan rasa marah. Kubiarkan air keran tepat di atas kepalaku mengucur membasahi baju serta tubuhku. Sekarang aku paham kenapa Tuhan menciptakan hujan, karena suatu saat nanti akan ada orang yang menangis dibawahnya tapi nggak ingin ada satu orang pun yang tahu.

Semesta kirimkan Alan sekarang juga, atau biarkan aku pergi ke tempatnya berada. Aku membutuhkannya. Aku merindukannya. Aku begitu merindukannya.

Kuharap semesta mengizinkan awan dan udara membawa rinduku padanya, dan berbisik melalui angin yang bertiup mesra.

Adzan Maghrib sudah berkumandang sekitar 15 menit yang lalu. Aku juga mendengar ramai para santri berbondong-bondong menuju masjid. Suasana semakin sepi dan gelap, tapi aku malah menyukainya. Biasanya aku ini penakut akan hantu, tapi entah kekuatan dari mana, saat ini aku berani.

Pernahkah kalian berada di posisi terendah dalam hidup? Nggak ada orang yang menemani, nggak ada yang mengerti, dan nggak ada yang mau peduli. Merasa nggak diinginkan, merasa dibuang, dan merasa diri nggak berguna. Sekarang aku sedang merasakannya.

My Coldest GusWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu