Dwi's Diary

47K 8.6K 1K
                                    

"Saudari Sashi, Anda dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan."

Perkataan itu seperti oase di padang pasir di saat kehausan. Seperti hujan di tengah musimnya kemarau berkepanjangan.

"Alhamdulillah ya Allah," ucapku seraya sujud syukur. Ternyata doaku selama ini terwujud, dan yang pasti ini adalah bukti kemahabesaran Allah. Bahwa Allah nggak pernah tidur.

"Keluargamu sudah menunggu."

Lengkungan sabit langsung terukir di wajahku. Aku sudah tidak sabar memeluk Sugus.

"Terima kasih, Bu. Terima kasih." Aku menyalim tangan bu polisi yang membuat ia nampak terkejut. Hehe, maaf ya bu, itu karena Sashi terlalu senang.

Namun apa yang aku harapkan tidak terjadi. Seseorang yang aku tunggu akan menjemputku tidak ada di sana, yang ada hanya Ning Aisyah dan suaminya beserta Ustadz Abas. Meski ada rasa kecewa namun aku berusaha tidak menunjukkannya. Yang terpenting sekarang aku terbukti tidak bersalah. Kalau soal Sugus kapan pun nanti kalau sudah kembali ke ndalem aku bisa saja memeluknya.

"Ning Aisyaaah." Orang yang kupanggil menoleh sontak aku memeluknya.

"Alhamdulillah, kamu bebas Sas," ucapnya.

"He'em."

"Aku sudah mengira ini, karena aku yakin pasti kamu nggak bersalah."

Kulepas pelukannya seraya berkata, "Terima kasih ya, Ning. Sudah percaya sama Sashi."

"Hey kamu nggak usah berterima kasih, semua orang juga pasti berpikiran yang sama dengan aku," lirihnya. Aku membalas dengan senyum.

"Terima kasih juga ya Ustadz Abas dan Om Ransi sudah bantu Sashi," kali ini aku berkata pada dua lelaki dewasa ini.

"Sama-sama. Tapi bisa kali Sas jangan panggil saya Om, memangnya saya setua itu," protes Om Ransi seraya memasang wajah pura-pura cemberut yang diikuti kekehan Ning Aisyah. "Saya kan seumuran dengan suami kamu."

Lah terus aku harus panggil apa, dong? Seumuran dengan Sugus itu artinya kami terpaut 10 tahun, kan? Apa lagi sebutan yang cocok selain dipanggil Om? Daddy?

"Sudah Sas nggak usah dipikirin," ucap Ning Aisyah yang seperti tahu kebingunganku. "Lagi juga kamu, By, biarin aja sih dipanggil Om. Kan emang usia kalian terpaut jauh."

"Tapi aku nggak setua itu, Yang."

Dah lah aku sama Ustadz Abas cosplay saja jadi nyamuk.

Kami keluar ke tempat parkir. Rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dan jangan sampai lagi deh 'nginep' di sini. Dahulu, ketika baru pertama kali masuk pesantren aku menyebutnya penjara suci. Di sana seribu kali lipat lebih enak daripada di penjara sesungguhnya. Lega sekali rasanya bisa menghirup udara bebas.

"Sashi!"

Langkah kami terhenti saat namaku dipanggil. Tidak jauh dari tempat kami berdiri terdapat sepasang suami istri berusia paruh baya. Aku izin kepada Ning Aisyah karena ia berada di sampingku untuk menghampiri kedua orang itu. Takut kalau ada hal yang penting.

"Ya ibu saya Sashi. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku seraya memasang senyum.

Plak!

Beberapa detik otakku nge-blank. Namun selanjutnya aku merasakan panas di sekitar pipi kiriku dan menjalar sampai ke telinga.

"Apa-apaan ini bu! Kenapa tiba-tiba nampar orang?" Ning Aisyah yang maju. Ia nampak geram melihatku ditampar.

"Orang ini," tunjuknya ke arahku. "Bahkan tamparan saja kurang. Dia lebih pantas membusuk di penjara."

My Coldest GusWhere stories live. Discover now