Keberkahan yang Hilang

132K 10.4K 490
                                    

Mengejar ketertinggalan, itulah yang aku lakukan setelah kembali ke sekolah. Beruntungnya teman-teman sekamarku berbaik hati dengan meminjam catatan mereka dan juga membantuku mencatat pelajaran yang aku tinggalkan selama ini. Dua jam sebelum istirahat, harusnya ada pelajaran kimia, tapi gurunya tidak masuk karena sudah cuti melahirkan. Kalian tahu? Untuk anak SMA sepertiku guru nggak hadir di kelas itu seperti mendapat hadiah jackpot dengan jumlah milyaran, senangnya bukan main.

Awalnya aku sedikit awkward masuk ke kelas lagi. Terutama setelah kejadian ustadz Abas dan Sugus yang menggendongku di kantin, nggak jarang aku mendengar bisik-bisik tetangga yang sedang membicarakanku perihal itu. Aneh ya, mereka kan ngajinya sudah banyak, tapi kenapa juga masih membicarakan orang lain. Iya kalau benar? Itu pun hitungannya sudah bergunjing yang seperti makan daging bangkai saudaranya sendiri. Kalau salah kan akhirnya jadi fitnah. Hiii. Semoga aku terhindar dari fitnah yang merupakan dosa besar.

Untungnya teman-temanku menguatkan, mereka bilang aku nggak usah memikirkan orang-orang yang membenciku. Toh kita nggak bisa membuat semua orang menyukai kita, cukuplah Allah yang menjadi tolok ukur utama. Yang terpenting nggak melanggar aturan Allah, that's enough.

Lagi pula memangnya salahku kalau menjawab soal dari ustadz Abas? Salahku juga kalau ustadz Abas memberi soal seperti itu? Salahku juga kalau harus sakit perut? Salahku juga Sugus datang dan tiba-tiba menggendongku? Sepertinya selama di sini apapun yang aku lakukan selalu salah. Kan aku ini alien, makhluk asing, jelas mereka benci. Begitu saja terus sampai rambut Upin Ipin bisa dikuncir kuda!

Lima belas menit sebelum istirahat, kamu ke ndalem ya.

Tiba-tiba aku teringat ucapan Sugus semalam. Pandanganku beralih ke dinding, tepatnya ke arah jam dinding, ternyata waktu istirahat sepuluh menit lagi. Aku telat lima menit!

Seketika aku berdiri dan menimbulkan decitan di kursi. Teman-temanku memandang aneh, sebelum mereka bertanya aku segera berkata, "Izin ke luar dulu ya sebentar. Ada perlu." Ketiganya kompak mengangguk.

Terburu dan setengah berlari aku menuju ndalem. Kenapa sih kelasku harus di lantai tiga dan paling ujung? Kalau sedang seperti ini kan jadi repot.

Aku mengatur napas sejenak, efek jarang olahraga ya seperti ini. Baru lari sebentar, napas sudah ngos-ngosan.

"Sashi." Sebuah suara memanggil namaku. Refleks tubuhku berbalik, karena suara itu berasal dari belakang.

Ternyata yang memanggil adalah ustadz Abas. Beliau sedang berdiri di depan ruang guru, sepertinya selesai mengajar deh. "Kamu sudah sembuh?" tanyanya kemudian.

"Alhamdulillah sudah, Ustadz," jawabku sambil mengatur napas.

"Syukurlah kalau gitu, saya sangat khaw—"

"Ustadz maaf ya, Sashi tinggal. Sashi lagi buru-buru," selaku tanpa tahu ucapan ustadz selanjutnya. Kontan aku berlari lagi menuju ndalem.

Sebenarnya apa yang aku lakukan ini nggak sopan. Seorang guru harus dihormati karenanya siswa menjadi pintar. Tapi sungguh, aku nggak ada niat untuk bersikap kurang ajar atau nggak sopan padanya, aku sedang mengejar waktu untuk bertemu Sugus.

Sesampainya di ndalem aku langsung menuju kamarnya, tapi aku nggak melihat batang hidung Sugus yang seperti perosotan anak paud. Pandanganku berpindah ke sudut kamar, tempat Sugus meletakkan koper. Benda itu juga nihil. Mungkinkah Sugus sudah pergi tanpa berpamitan denganku?

Hayolah Sashi, lagi pula dia cuma pergi satu minggu saja.

Bukankah kau membencinya? Ini kan yang kamu mau, kamu jadi terbebas setidaknya untuk beberapa hari.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang