Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan

121K 11.7K 979
                                    


Sungguh wanita itu mampu menyembunyikan cinta selama 40 tahun. Namun tak sanggup menyembunyikan cemburu meski sesaat.

-Ali Bin Abi Thalib-

Hari demi hari aku semakin disibukkan dengan hapalan kitab, hapalan Qur'an dan Hadist, belum lagi belajar tambahan untuk persiapan olimpiade. Kegiatan rutin tersebut membuat kepalaku ingin meledak saja seperti balon hijau.

Tapi harus aku syukuri kesibukan membuat aku lupa dengan Sugus, terutama setelah kejadian malam itu. Sugus baru pulang dua jam kemudian setelah bersenang-senang dengan Ning Aisyah di luar sana. Sedangkan aku? Aku tetap tinggal di kamarnya menunggu si empunya pulang dengan perasaan yang carut marut. Coba kalian bayangkan, bagaimana perasaan seorang istri saat suaminya pergi dengan wanita lain? Sakit kan? Sakit bangeeeettt.

Malam itu saat Sugus sudah kembali ke kamar, aku pura-pura tertidur. Hanya pura-pura! Tolong ditebalkan dan digaris bawahi. PURA-PURA. Aku berharap Sugus membangunkanku dan kami kembali bercengkrama seperti sebelum datangnya Ning Aisyah. Tapi kenyataan yang terjadi adalah Sugus tidak membangunkanku sama sekali dan malah membiarkanku dalam posisi 'pura-pura tidur' sampai akhirnya aku benar-benar tertidur.

Sejak malam itu aku tidak lagi kembali ke ndalem. Entah sudah berapa hari aku tidak tahu. Kalau ada jadwal piket aku lebih sering memberi seribu alasan, asalkan aku nggak bertemu dengan Sugus.

"Sas kok Gus Omar jarang isi ceramah ya?" Pertanyaan Dwi sontak membuyarkan lamunanku. Sekarang ini kami memang sedang berada di masjid menunggu adzan Isya berkumandang.

"Mana aku tahu, Wi. Memangnya aku ini siapanya dia sih?" ketusku. Entah kenapa mendengar nama itu disebut emosiku jadi naik ke ubun-ubun.

"Kangen deh denger ceramahnya," bisik Dwi dan langsung mendapat toyoran dari Hani. Karena memang Dwi duduk di antara aku dan Hani.

"Istighfar, Ukhti," ingat Hani setelah berhasil melancarkan aksinya. Dwi hanya terkekeh tanpa suara sambil membekap mulutnya dengan mukena.

Aku sendiri masih bingung apa yang terjadi denganku. Kalau ada santriwati yang terang-terangan memuji Sugus di depanku macam Dwi tadi aku biasa saja. Tapi kalau sudah menyangkut Ning Aisyah, rasanya ada tangan tak kasat mata yang tanpa belas kasihan meremas hatiku di dalam sana. Duh, aku ini sebenarnya kenapa sih?

"Sandalku ketemu nggak, Sas?" tanya Dwi.

"Sebentar kucari dulu," jawabku seraya menyisiri tumpukkan sandal di hadapanku. Hani dan Leni juga sama, mencari sandalnya yang tertimbun dengan sandal santriwati lain.

"Kak Sashi, Kak Sashi!" Terdengar seseorang memanggil namaku dengan cepat, sontak saja aku langsung menghadap ke sumber suara.

"Iya, ada apa?" ternyata orang itu adalah Intan.

"Kak Sashi dicari Umi. Beliau bilang Kak Sashi diminta ke ndalem."

Umi mencariku? Ada apa, ya? Apa karena aku sudah tidak pernah lagi ke ndalem?

Aku mencoba tersenyum. "Yasudah, Tan. Makasih ya infonya."

"Sama-sama, Kak. Tapi jangan lupa ke ndalem ya. Ini amanah lho Kak dari Umi." Aku melayangkan senyum lagi, dan berusaha mengangguk. Intan langsung pergi setelah menerima jawaban dariku.

"Kenapa kamu disuruh ke ndalem, Sas?" tanya Dwi yang menenteng sandal di tangannya. Ternyata sandalnya itu sudah ketemu. Leni dan Hani juga sudah berdiri di dekatku. Mereka memandangku dengan penasaran.

Aku mengangkat bahu. "Nggak tahu aku juga."

"Yasudah sini mukena kamu kami yang bawakan ke kamar. Kamu ke ndalem saja ketemu Umi," tawar Hani tapi tak lantas aku setujui. Aku takut kalau ke ndalem ada sosok yang tidak ingin aku lihat. Membayangkannya saja sudah merinding seperti saat mendengar cerita setan Extra Joss di toilet santriwati.

My Coldest GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang