Sebuah Kisah dari Pluto

112K 10.7K 330
                                    

Attention!

Jadi tadi tuh aku baru ngetik sekitar seribu kata, eh malah kepencet "publikasi". Makanya tadi sempet ke publish sebentar dan muncul eh tiba-tiba hilang lagi udeh kayak gebetan aje. Itu karena aku unpublish.

Ini part lengkapnya.

Happy reading, Zeyenk ❤

*

****

Aku mengepel lantai ndalem dengan ogah-ogahan. Harusnya saat ini aku sudah menuju perjalanan pulang ke rumah, tapi berhubung hari ini piket dan teman piketku itu si duo kulit lengkuas, alhasil aku nggak bisa kabur begitu saja.

Nyebelin!

Apa mereka itu nggak punya orangtua? Bagaimana kalau mereka ada di posisiku?

"Eh Sas!" pekik Fika yang tiba-tiba saja muncul. "Aaawwh!" Karena dia berjalan terburu ke arahku, bokongnya malah mencium lantai. Dengan kata lain, si kulit lengkuas itu terpeleset akibat lantai yang licin.

Sontak aku tertawa, puas sekali rasanya. Bahkan perutku sampai sakit. Lumayan lah ada hiburan gratis.

"Makanya kalo jalan itu hati-hati. Udah tahu lantai licin, jalan buru-buru!" seruku yang disusul tawa lagi. Wajah Fika langsung memberengut sebal.

Aku mengulurkan tangan, berniat membantunya bangun. Tapi dia malah menepis tanganku. Dih yasudah kalau nggak mau dibantu!

Akhirnya si kulit lengkuas bangun sendiri, tanpa mau menerima bantuanku. Dia menepuk-nepuk bagian bokongnya yang ternyata sudah basah, seperti habis ngompol. Wajahnya terlihat memerah, menahan emosi. Rahangnya pun ikut mengeras dengan kedua tangan yang tergenggam kuat. "Lo, awas aja!" serunya sambil menunjuk wajahku, kemudian pergi meninggalkanku begitu saja.

Tawaku kembali mengudara saat mengingat lagi adegan kulit lengkuas terpeleset. Bukannya su'udzon atau apa, pasti dia punya niat yang nggak baik padaku. Karena selama ini pertemuan kami nggak pernah baik-baik. Makanya Allah melindungiku dengan membuatnya terjatuh.

Seketika tawaku langsung terhenti, bahkan kain pel di tanganku ikut terjatuh. Beberapa langkah di depanku seseorang dengan tubuh menjulang tinggi mencapai pintu berdiri dengan tangan yang dimasukkan ke saku sambil menatapku. Dia mendekatiku, dengan wajah menyeramkan. Nggak ada gurat-gurat sabit terukir dari sudut bibirnya.

"Gus? Kok udah pulang?" Bukannya beberapa jam yang lalu Sugus masih ada di luar kota? Kok tiba-tiba sudah sampai di sini?

"Gimana nggak pulang? Kamu telepon saya sambil nangis-nangis," ucapnya yang membuatku menggaruk tengkuk, merasa malu. Tapi ya bagaimana lagi? Itu sudah terjadi. Aku kalut mendapat kabar kalau ayah sakit. "Cepat selesaikan pekerjaanmu, saya antarkan kamu ke rumah."

"Iya, Gus."

Kami berdua sudah berada di mobil Sugus, dalam perjalan menuju Jakarta. Sudah hampir satu jam, tidak ada percakapan di antara kami. Aku melirik Sugus yang fokus menyetir. Kalau dilihat dari samping, hidung Sugus terlihat sangat mancung. Aku yakin saat hamil Sugus, pasti Umi ngidam perosotan deh, atau ngidam bambu, jadinya Sugus punya tubuh yang tinggi.

"Kenapa melihat saya seperti itu?"

He? Jadi Sugus sadar ya sedang aku perhatikan? Bukannya dia hanya fokus pada jalanan?

"Ya saya ini memang tampan. Banyak wanita yang terpesona dengan ketampanan saya ini," sambungnya dengan sudut bibir yang tertarik. Mual nggak sih kalian mendengarnya? Ada yang punya kantung kresek?

My Coldest GusWhere stories live. Discover now